The Kreutzer Sonata: Soal Cinta, Perkawinan, dan Kecemburuan


“Cinta..cinta..cinta..apa yang menguduskan perkawinan?” tanya ia tergagap. Begitu lelaki itu tiba-tiba merasa tergerak dalam pergumulan obrolan dengan wanita dan penumpang lain dalam kereta api yang sedang melaju. Laki-laki—bernama Pozdanyshev—merasa keberatan dengan teori cinta yang mengkuduskan ikatan perkawinan seperti ungkapan wanita dalam kereta dengan semangatnya. Kita bisa menebak kira-kira jawaban apa yang dikemukakan oleh si wanita itu: cinta sejati. Cinta sejati yang seperti apa? Ya cinta merupakan pilihan eksklusif bagi seorang pria atau wanita di atas semua lainnya. Jika cinta itu ‘pilihan’ sejauh mana ia bertahan dalam perkawinan? Sebulan? Dua hari? Setengah jam? Begitulah, laki-laki dalam kereta itu mengejar sekaligus ingin mendengarkan jawaban sempurna dari seorang wanita. Seakan, laki-laki, itu tak pernah percaya jika cinta sebagai kait yang menghubungkan dua insan beda jenis dalam perkawinan. “…perkawinan mestinya didasarkan terutama pada afeksi-cinta, kalau anda suka menyebut demikian. Hanya kalau ini ada, maka perkawinan memberikan sesuatu kesucian. Kedua, tak ada perkawinan yang tak didasarkan afeksi alami-cinta, kalau Anda suka menyebut demikian-yang membawa kewajiban moral” begitu penumpang lain yang mencoba menengahi. Sekali lagi laki-laki bernama Pozdanyshev meragukan, membantah semua perkataan yang telah ia dengar dari mulut wanita dan penumpang lainnya. Jelas, di matanya, pikirannya telah berkecamuk sesuatu yang sangat mungkin disangkal, dipatahkan tentang teori-teori cinta dan perkawinan. Sebab ia telah melampui semua teori itu. Kalau boleh di bilang ia gagal menemukan kebenaran teori-teori tersebut dalam rumah tangganya. Cinta dalam perkawinan—bagi Pozdanyshev— tak berlangsung lama. Tidak seperti yang dikatakan banyak orang. Kesetiaan selamanya dalam perkawinan hanya ada dalam novel-novel, bukan dalam kehidupan nyata. Dalam kehidupan nyata, pilihan itu berlangsung mungkin hanya setahun, tapi itu sangat jarang. Hubungan cinta bisa lebih singkat dalam seperjam saja. Tentunya ini jawaban, ucapan yang menyentakkan bagi semua orang yang pernah terlibat dalam cinta rumah tangga. Apakah demikian halnya? Jika benar jalinan cinta dalam rumah tangga hanya berlangsung dalam seperjam saja bukankah itu sama saja dengan pelacuran? Lantas kenapa perkawinan tetap eksis dan legal? Perkawinan menjadi pilihan pertama dan utama bagi setiap manusia yang menjalin kasih. Perkawinan seakan dan disetujui sebagai puncak, muara dari perpaduan rasa laki-perempuan yang terselebung asmara. Tak ada kiranya seorang yang hanya menginginkan hubungan mereka ‘klontang-klantung’, tanpa kejelasan yang pasti. Di masyarakat yang masih memegang kebaikan moralitas, kesucian agama perkawinan merupakan jalan suci untuk melanjutkan hubungan asmara tersebut. Lewat novelnya “The Kreutzer Sonata” Leo Tolstoy menyodorkan kesangsian atas nama ‘perkawinan’, wanita dan segala kehidupannya. Meskipun dalam kehidupannya Leo Tolstoy juga menikah, kawin dengan seorang wanita tetapi perkawinan itu juga mengalami nasib ‘gagal’. Seperti pengakuan istrinya yang mengetahui kisah ini kaget, sebab kisah novel ini ditulis berdasarkan pengalaman mereka untuk menciptakan ‘gugatan’ terhadap perkawinan yang menyakitkan hati. Perkawinan memang unik. Seperti yang telah penulis sampaikan pada paragraf sebelumnya—pernikahan adalah bentuk muara rasa kasih— gambaran masyarakat tentang perkawinan itu sendiri sebagai bahtera kehidupan. Sebuah penggambaran yang bagus. Tentunya kita akan langsung merujuk kehidupan sehari-hari sebagai samuderanya. Samudera yang menyajikan berbagai peristiwa, tantangan, kesenangan dan petualangan yang hanya berhenti ketika bahtera itu bersandar di dermaga tujuan. Lantas, kapan bahtera perkawinan itu bersandar dan dimana tujuannya? Apakah sampai aki-nini dan salah satu dari mereka mati? Ataukah seperti ungkapan ‘aku akan mencintaimu hingga di bawah pohon kamboja alias sehidup semati’? Oh, indah nian ungkapan ini. Seperti mereguk madu yang tak lekas hilang rasa manisnya. Perkawinan menjadi jalan sah menjalin hubungan manusia lain muhrim, begitu kira-kira bahasa agamanya. Bahkan, hukum nikah dalam Islam hukumnya bisa wajib (seingat penulis hokum nikah tergantung situasi dan kondisi: bisa menjadi makruh, sunah, bahkan haram) dan barang siapa yang membenci nikah/kawin maka ia terlempar dari lingkaran umat Nabi Muhammad SAW. Ali Ahmad al-Jurjawi dalam kitabnya Hikmah al-Tasyri’wa al-Falsafah menuliskan hikmah diwajibkan perintah nikah ada tiga. Pertama, adalah kebutuhan psikologis. Kehadiran orang lain (suami atau istri) yang mampu berbagi suka duka adalah kebutuhan manusiawi. Kesatupaduan dua sosok manusia yang berbeda jenis kelamin di dalam menghadapi dan mengatasi masalah kehidupan merupakan sesuatu yang niscaya. Kedua, kebutuhan biologis. Penyaluran nafsu seksual yang menggumpal dalam diri setiap individu, hanya bisa dibenarkan jika dilakukan di dalam ‘jalur’ perkawinan. Ketiga, kebutuhan eksistensial. Dengan ditetapkannya perkawinan, maka di samping keteraturan seksual akan terpelihara juga untuk menjaga eksistensi manusia, sehingga tidak mengalami kepunahan. Namun di sisi lain, perkawinan juga menyajikan sisi negatif—dalam bahasa fiqihnya disebut afaat—. Seperti yang tertuang dalam kitab Fatawa al-Imam al-Nawawi yang dirakit oleh Syekh Alauddin Ibn al-Aththar, beberapa sisi negatif perkawinan diantaranya orang menjadi lemah dalam mencari rezeki halal (entah, apakah dalam hidup ‘sendiri’ mencari rezeki halal menjadi kuat?), mudah ceroboh dalam memenuhi hak dan kewajibannya, gampang musnah kesabaran, mudah melupakan ibadah kepada Tuhan. Perkawinan memang bagaikan pedang bermata dua: perlu kehati-hatian memainkannya. The Kreutzer Sonata merupakan semacam teriakan, jeritan Tolstoy melalu ungkapan tokoh Pozdanyshev soal cinta, wanita, pernikahan. Novel ini benar-benar ‘untab-seuntabnya’ begitu muakkan membaca wanita, perkawinan. Ia begitu tak percaya dengan kesakralan perkawinan, ritual-ritualnya. Bahkan, sebagai sosok laki-laki sepertinya ia mengidap phobia atas nama ‘wanita’. Entah wanita itu bertengger di kelas sosial yang bagaimana. Semua wanita—ungkapnya—adalah sama: sama-sama penjerat dan penindas laki-laki. “Anda bisa bilang, kaum wanita di kelas kita bertindak karena kepentingan yang berbeda dengan kepentingan kaum wanita di pelacuran, tapi saya katakan perbedaan itu benar dan bisa saya buktikan. Kalau orang-orang berbeda dalam maksud dan isi bagian dalam hidup mereka, perbedaan itu pasti akan tercermin pada hal-hal luar dan itu akan berbeda juga. Tapi lihatlah orang-orang malang yang diremehkan itu, lalu pandanglah para wanita di kelas kita: bahu, lengan dan mungkin dada terbuka, pantat yang dibungkus pakaian ketat, berlagak sama, keranjingan yang sama terhadap batu-batu permata dan benda-benda berkilau yang mahal, hiburan yang sama-- musik, dansa, nyanyian. Di matanya, lewat ungkapan ini, wanita kelas atas atau setidaknya yang memiliki martabat ‘sopan’ tak ubahnya wanita jalang. Hanya modus operandinya saja yang berbeda. Bungkus derajat keluarganya saja yang membedakan. Di balik itu semua: wanita sama-sama memasang perangkap. Di balik anggunnya, keindahan kata-kata, modelnya, soleknya, pakaiannya tak ubah jaring laba-laba yang menjebak: “Ya, jadi saya jatuh ke dalam perangkap semua stockinet itu, rambut ikal dan pantat palsu itu. Saya adalah tangkapan mudah karena saya dibesarkan di bawah kondisi khusus yang diciptakan bagi orang-orang muda penuh kasih, yang ditanamkan dalam diri mereka seperti mentimun di rumah kaca…” Akhirnya, jika kita membaca runtut mulai awal novel ini, bisa menemukan titik temu: kenapa Pozdanyshev begitu muaknya dengan ‘wanita’ dan perkawinan? Sebab semenjak kecil ia dibesarkan dalam kesemuan, cara hidup yang ditutup-tutupi. Kehidupan keluarga, kehidupan para wanita di lingkungannya dengan segenap keeksotisan tata cara hidupnya hanyalah klise, remang-remang belaka. Semua hanya demi harta, meterialisme. Inilah yang menyebabkan ia gagal mempercayai wanita, istrinya, meski dianugerahi 5 orang anak-- konon anak merupakan wujud ikatan kuat. Namun, kehadiran anak-anaknya juga tak mampu merekatkan, menyuburkan cinta kasih dalam kehidupan perkawinannya. Ketidakpercayaan itu semakin menjadi-jadi ketika dalam kehidupannya hadir pihak ketiga (laki-laki lain) yang menurutnya menjadi ‘sarah’ pengkeruh kehidupan keluarga. Meski laki-laki itu berasal dari kelas sosial rendah dan istrinya dari kelas sosial tinggi namun, menurut sangkaannya, perselingkuhan itu tetap terjadi. Hingga akhirnya ia dibakar rasa cemburu buta: sang Istri ia bunuh. Kisah yang sungguh tragis: ketidakpercayaan, kecemburuan yang berakhir duka. Bisa digaris bawahi: perkawinan bukan fase akhir dari kisah cinta dua insan tetapi ia hanyalah langkah awal untuk memulai, mempecayai, membaca watak, mencari titik temu dua pandangan hidup yang berbeda. Perkawinan bukan sekedar ranjang pengantin yang penuh taburan bunga, cumbu rayu dengan nafsu yang segera ingin tertumpah. Ya, perkawinan memang bahtera yang mengarungi samudera: sepanjang waktunya bisa saja ditemukan badai, kesemiliran angin, bahkan ketidakcocokan perihal bahtera akan di bawa kemana oleh dua nahkoda. Dan anda yang harus senantiasa berdialog. Kawin: ya gampang-gampang susah. Apakah perkawinan akan eksis? Biar waktu yang menjawab.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment