Sumber gambar: hidayatpanuntun.staff.ugm.ac.id |
Siapa
yang tidak kenal dengan Nabi Khidir. Setiap orang, khususnya orang Islam, pasti
akrab dengan nama Khidir. Sosok nabi yang nyentrik
ajaran dan cara penyampaiannya; terkadang membuat muridnya bertanya-tanya.
Bahkan sekaliber Nabi Musa pun dibuat bertanya-tanya dengan tingkah laku Nabi
Khidir. Cerita berguru Nabi Musa ke Nabi Khidir merupakan media Allah untuk
menyadarkan Nabi Musa bahwa ada manusia yang lebih pintar dibanding dirinya.
Konon,
Nabi Musa pernah ditanya oleh umatnya tentang siapa manusia yang paling pintar
di dunia ini. Spontan Nabi Musa mengatakan bahwa dirinyalah yang paling pintar.
Sikapnya ini mendapat teguran Allah, Nabi Musa kemudian disuruh berguru kepada
seseorang yang ilmunya jauh lebih tinggi dibanding dirinya. Allah menunjukkan
dimana orang tersebut tinggal. Nabi Musa dapat menemui Nabi Khidir pada
pertemuan dua buah lautan (jama’ al bahrain).
Tandanya, apabila ia membawa ikan yang
sudah masak, kemudian dengan percikan air ikan tersebut bisa hidup kembali,
itulah tempat Nabi Khidir berada.
Singkat
cerita, Nabi Musa berhasil bertemu dengan Nabi Khidir. Nabi Musa diterima
sebagai murid tetapi sejak awal Nabi Khidir sudah mengatakan bahwa Nabi Musa tidak
akan sanggup menjalani semua persyaratan yang diajukannya. Persyaratan itu
tidak lain adalah Nabi Musa dilarang
bertanya segala tindakan Nabi Khidir sampai ia sendiri menjelaskan kepada Nabi Musa.
Nabi Musa pun menyanggupinya. Namun, tidak disangka-sangka tindak laku Nabi Khidir
ternyata di luar dugaan dan mengundang Nabi Musa untuk bertanya dengan segala
tindakan yang dilakukan sang guru. Merasa Nabi Musa tak sanggup menjalani
persyaratan sebagai murid kemudian Nabi Khidir memutuskan berpisah dengan Nabi Musa
setelah menjelaskan maksud dari tindakannya.
Bagi
kita yang akrab dengan teori pembelajaran modern, dengan segala paradigmanya
sebagai seorang pembelajar, apa yang dilakukan Nabi Musa merupakan hal yang
wajar. Bahkan, sebagai seorang murid sudah selayaknya murid aktif bertanya
kepada sang guru. Tetapi inilah kenyataannya, kenyataan antara Nabi Musa dan Nabi
Khidir yang mewedar ilmu. Nabi Musa tak sanggup menangkap hikmah di balik
kejadian. Nabi Musa tak bisa membaca “masa datang” kecuali “masa kini” yang dihadapi.
Salahkah Nabi Musa? Jelas di sini tidak bisa dihukumi siapa yang salah dan
siapa yang benar. Yang jelas Nabi Musa sendiri telah melanggar perjanjian
antara murid dan guru, bahasa kerennya sekarang, melanggar kontrak belajar yang
telah disepakati.
Lantas
siapa Nabi Khidir itu, sampai Allah pun harus menyuruh Nabi Musa untuk berguru
kepadanya? Apa kelebihannya? Sosok Nabi Khidir tak hanya terkenal pada cerita Nabi
Musa. Menurut cerita, Sunan Kalijaga yang bergelar Syeh Malaya pun pernah
bertemu dengan Nabi Khidir di tengah lautan. Saat Sunan Kalijaga hendak
menunaikan haji ke Mekkah, beliau bertemu dengan Nabi Khidir dan menyuruhnya Sang
Sunan untuk kembali ke tempat tinggalnya sebab yang dicarinya tidak ada,
kecuali di hati Sang Sunan sendiri. Sekali lagi, wejangan Nabi Khidir terasa
ganjil, namun di balik keganjilannya itu tersimpan berbuku-buku hikmah yang
harus direnungkan oleh para muridnya.
Hal
yang paling melekat dengan Nabi Khidir adalah lautan (air) dan keunikan
ajarannya. Terkadang Nabi Khidir dijuluki “nabi air”, sebab para pencarinya
menemukan atau bertemu dengan di air meski ini tidak selamanya. Sedangkan
keunikan, keganjilan cara penyampaian bahkan isinya menjadi ciri khas Nabi
Khidir. Sehingga Nabi Khidir dijuluki
guru hikmah. Nabi Khidir sendiri dianugerahi ilmu laduni; ilmu yang bersifat langsung dari Allah (QS. 18: 65). Tak
pelak, hal inilah yang menjadikan Khidir sebagai ikon guru ruhani dalam tradisi
spiritual Islam.
Nabi
Khidir merupakan nama julukan, nama kecilnya adalah Balya. Ia mendapat julukan
tersebut (Khidir)-berasal dari kata Khudrun
artinya hijau- kerena di mana pun ia pernah duduk atau menginjakkan kaki,
selalu tumbuh rumput hijau karena tanahnya menjadi subur. Nabi Khidir sendiri
merupakan anak seorang raja yang kemudian diasingkan di daerah terpencil
bersama ibunya. Setelah dewasa Nabi khidir mengikuti sayembara penulisan suhuf-suhuf firman Allah yang diadakan
oleh sang raja (ayahnya) dan berhasil memenangkan sayembara tersebut. Kekaguman
sang raja akan keelokan tulisan Nabi Khidir membuat sang raja menelisik
asal-usul Nabi Khidir. Setelah diketahui asal-usulnya khidir yang tak lain
merupakan putranya sendiri, sang raja berkenan Nabi Khidir agar tetap tinggal
di istana untuk meneruskan tahtanya tetapi Nabi Khidir menolaknya dan memilih
pulang ke kampung halaman, tinggal bersama ibunya.
Semasa
pemerintah Iskandar Agung, Nabi Khidir diangkat menjadi wazir utama. Konon,
Raja Zulkarnain didatangi malaikat, raja menggunakan kesempatan pertemuan
tersebut untuk bertanya perihal tentang jalan yang bisa ditempuh manusia supaya
tidak mati hingga hari kiamat datang. Malaikat menceritakan bahwa ada ma’ul hayat (air kehidupan). Siapa saja
yang dapat meminumnya walaupun sedikit, dia tidak akan mati, kecuali nanti
waktu sangkakala ditiup. Raja kesengsem dengan jawaban malaikat. Malaikat pun
menceritakan bahwa air tersebut berada di daerah kutub, sangat samar, hampir
dikatakan gelap.
Raja
bersama rombongan, tak terkecuali Nabi Khidir, berusaha mencari air kehidupan
tersebut. Sayangnya, setelah lama mencarinya tidak kunjung pula air tersebut
ditemukan. Hanya Nabi Khidir-lah yang menemukan air tersebut kemudian
meminumnya. Itulah mengapa Nabi Khidir tetap hidup hingga saat ini.
Sosok
Nabi Khidir banyak dicari oleh orang. Kehadirannya diyakini dapat membawa
berkah dan membukakan pntu hikmah meski pertemuan itu hanya sebentar. Seperti
yang dialami dialami Nabi Musa. Tidak diragukan Ilmu Nabi Musa tentunya sangat
luas apalagi kapasitasnya sebagai nabi yang melayani umat. Namun, di balik kepintaran
tersebut masih ada kekurangan yakni ilmu masa depan alias ilmu kewaskitaan.
Hingga akhirnya Allah menyuruh Nabi Musa berguru kepada Nabi Khidir.
Kedatangan
dan pertemuan dengan Nabi Khidir memang tidak bisa dijadwalkan. Ia datang tak
diundang, pergi pun sesuka hatinya. Dia hadir jika ada yang membutuhkan dengan
niat tulus dan terkadang kedatangannya untuk menyadarkan orang yang didatangi.
Seperti yang dialami oleh raja besar di Balkha. Raja ini merupakan raja yang
kaya banyak pengawalnya. Suatu malam sang raja dikejutkan oleh suara di atas
atap rumah. Ketika ditanya orang yang berada di atas itu menjawab bahwa dia
sedang mencari untanya yang hilang. Seketika sang raja mengatakan aneh, sebab
mencari unta di atas atap. Tetapi laki-laki itu malah menjawab kelakuan sang
raja lebih aneh lagi sebab mencari ridho Allah kok berbalut dengan kemewahan.
Begitu
pula saat sang raja mengadakan sidang bersama punggawanya, tiba-tiba datang
seorang laki-laki tanpa permisi. Ketika ditanya apa keperluannya, sang laki-laki
itu mengatakan bahwa istana ini hanya peristirahatan para kafilah. Tentu saja
sang raja marah sebab istana disebut sebagai tempat peristirahatan.
“Ini
bukan persinggahan para kafilah yang kelelahan. Ini adalah istanaku, “ bentak
sang raja merasa terhina.
“Istanamu?
Sebelum engkau, siapa yang menempatinya?”
“Bapakku.”
“Sebelum
bapakmu, siapa yang punya?”
“Kakekku.”
“Sebelum
kakekmu?”
“Bapak
dari kakekku.”
“Sekarang
mereka berada di mana?”
“Mereka
sudah meninggal dunia.”
“Berarti
tepat benar: tempat ini adalah persinggahan sementara saja. Nanti sebentar lagi
engkau juga akan meninggalkannya.”
Kemudian
orang itu hilang. Ternyata orang itu tidak lain adalah Nabi Khidir yang datang
memberi nasehat agar menyadari bahwa kehidupan dunia itu fana belaka, bukan tujuan
utama setiap manusia beriman.
Nabi
Khidir bak harta karun terpendam yang banyak diburu oleh banyak orang dengan
berbagai macam keperluan dan keinginan. Seperti yang dialami oleh tiga
bersaudara (Ubai, Ammar dan Khofid) ketiganya merupakan dari keluarga miskin.
Tekad mereka adalah ingin bertemu dengan Nabi Khidir, tujuannya tidak lain
meminta Nabi Khidir mendoakan agar mereka dapat hidup layak.
Ketiganya
mendatangi Masjidil Haram, sebab pada hari “haji akbar” Nabi Khidir berada di
sana. Setiap orang dijabat tangani, menurut keyakinan jempolnya Nabi Khidir itu
empuk seperti kapas. Setelah ketemu dengan Nabi Khidir mereka bertega
menyampaikan tujuannya masing-masing. Ubai meminta didoakan supaya menjadi
orang kaya, Ammar menjadi seorang raja sedangkan Khofid agar menjadi orang
alim. Nabi Khidir pun berkenan mendoakan setelah mereka dijanji supaya tidak
lupa dengan kewajibannya jika kelak mereka berhasil cita-citanya.
Bertiganya
berhasil sesuai harapan awalnya. Ubai menjadi kaya, Ammar menjadi seorang raja,
dan Khofid menjadi Alim yang mempunyai banyak santri. Namun, Ubai menjadi
sombong dan congkak terhadap orang-orang miskin. Ammar pun menjadi raja yang
sewenang-wenang. Maka Nabi Khidir perlu menyadarkan keduannya, tetapi
kedatangannya malah disia-siakan oleh keduanya. Berkat doa’a Nabi Khidir
keduanya kembali ke kehidupan semula: menjadi miskin dan sengsara. Hanya Khofid
yang lurus dengan janjinya.
Cerita
Nabi Khidir ini menjadi bahan renungan sekaligus tamparan kepada kita di
realita kehidupan. Sosok wali, orang yang berkaromah terkadang hanya
dimanfaatkan oleh kepentingan duniawi. Doanya hanya dimanfaatkan untuk meraih
sesutau yang sementara dan fana. Merangkak-rangkak kita meminta didoakan supaya
terkabul segala hajat namun setelah berhasil kita lupa dengan janji semuanya.
Inilah realita bagaimana agama, wali, bahkan ayat-ayat Al-Qur’an terkadang
hanya dimanfaatkan hanya untuk memburu kemewahan dunia. Padahal kehadirannya
(agama, wali, nabi dan kitab suci) tidak lain sebagai pembawa kabar gembira
sekalipun peringatan (bashiran wa
nadhiran). Wa’allahu a’lam.
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon