Sumber gambar: wisatapriangan.co.id |
Sejak kecil, sebetulnya tak begitu asing dengan adat budaya di daerahku. Mulai cara perkawinan hingga masalah urusan orang hamil pun begitu kental mewarnai tata laku orang-orang di sekitarku. Namun, apa yang tertuang dalam simbol-simbol, obrolan yang sering diwacanakan oleh orang-orang tua, sama sekali tak kupahami. Setiap kutanyakan, jawabanya selalu, “iseh cilik, durung pantese ngerti” (masih kecil, belum pantas untuk mengerti). Begitu seterusnya. Setiap ada peristiwa, yang dapat kulakukan adalah kepasifan, menerima, dan mencoba untuk merenungkan sendiri simbol-simbol budaya.
Upacara perkawinan, bagi masyarakat di daerahku, bukanlah sekadar pesta. Perkawinan bukan pula diartikan sebagai pelegalan seks antara dua orang yang berbeda jenis atau hanya cara lain untuk mempermudah mengumpulkan harta. Jauh dari itu, perkawinan seolah menyimpan tanda tanya yang untuk memahaminya tidak cukup butuh waktu sehari-dua hari, melainkan perlu sangat lama plus kesabaran dan kearifan budaya, dan juga tidak semata analisis logis-ilmiah.
Ritual-ritual itu, hingga sekarang masih menjadi pertanyaan dalam benakku. Misalnya, kedua calon harus mempunyai kecocokan (mungkin tepatnya chemistry) hitungan berdasarkan hari kelahiran. Kenapa, kalau memang sudah suka, cinta tidak langsung dinikahkan, kok repot-repot ngurusi hal itu? Belum lagi untuk melangsungkan perkawinan juga masih mencari “hari baik”. Realitas ini pun terjadi di Jogja, yang notabene banyak dihuni kaum pelajar, toh dalam melangsungkan perkawinan juga masih mempercayai “hari baik”.
Upacara perkawinannya pun penuh simbol-simbol. Ada acara “sasrahan/pasrahan”, “uduk-udukan”, “midodareni”, “temu nganten”, dan masih banyak lagi. Saat acara “temu nganten” biasanya dua insan bertemu di bawah tarub. Tarub dibuat dari anyaman daun kelapa (blarak) ditambah janur kuning. Di kanan-kirinya ada pohon pisang beserta buahnya yang sudah matang. Bahkan, seingatku, dan sering membuatku harus rela berjejalan dengan teman-teman, di dalam batang pisang itu sering sekali diselipi uang receh. Apakah semua ini menyimpan makna? Ataukah hanya acara yang membuang dan melelahkan saja?
Masa kehamilan pun demikian, ada acara “tingkepan”, “piton-piton”, “babaran”, dan lain sebagainya. Belum lagi pantangan-pantangan yang harus dijalani oleh orang tua calon jabang bayi. Biasanya, mereka disuruh sabarlah, dilarang menyiksa hewan, tidak motong rambut sampai bayinya lahir. Konon, ada tetangga yang istrinya hamil, si suami malah menyiksa hewan pada bagian tertentu. Saat anaknya lahir, ternyata si anak cacat sesuai bagian hewan yang disiksa oleh si suami tersebut. Entah benar atau tidak, tetapi ketakutan semacam itu sampai sekarang masih menyelimuti orang-orang desa. Ibaratnya, masa kehamilan itu tak lebih bagaikan masa “ngentung”, perlu laku prihatin (tapa) agar kelak anak yang lahir dan sang istri menuai keselamatan.
Memasuki abad teknologi informasi, penganggungan rasio dan keilmiahan mungkin hal-hal yang saya sebutkan tadi terdengar lucu dan aneh. Pekerjaan yang sia-sia, takhayul, hanya membuang-buang waktu saja. Toh, sekarang ini yang dituntut kecepatan. Siapa cepat, ia dapat. Hal-hal seperti itu sudah selayaknya ditinggalkan saja, tidak ada gunanya. Kalaupun masih ada hanya diambil artistiknya, tak perlu dipelajari makna dan hakikatnya. Yang parah mungkin adalah jika pernikahan hanya sekadar “yang penting happy”.
Bolehlah kita memandang sinis dengan adat budaya yang ada. Menganggap sebagai perilaku primitif dan ketinggalan zaman. Namun, banyak hal yang tidak dapat kita mungkiri dengan fakta-fakta yang ada. Kenapa sekarang ini banyak bayi yang lahir cacat? Bukankah medis, kebidanan, dokter spesialis kandungan kini menjamur? Di lain sisi, kenapa sekarang ini banyak fenomena kerusakan moral, seperti tawuran, terorisme, seks bebas, korupsi? Bukankah lembaga agama sekarang ini bak jamur di musim hujan? Bukankah ceramah keagamaan setiap waktu ditayangkan di media massa? Bukankah kurikulum sekolah juga memuat moralitas, pembentukan karakter? Lho, kenapa dengan “bau-bau agama/moral” itu tak bisa menyelesaikan masalah kemerosotan moral? Malah sebaliknya, seolah saling bekejaran satu sama lain. Adakah sesuatu yang salah?
Pernah aku menulis kemerosotan moral yang tengah melanda ini bukan semata faktor lingkungan, melainkan ada faktor lain, yaitu “ligan-ligan” yang disumbangkan kedua orang tua sehingga mempengaruhi keruwetan perilaku sang anak. Ligan-ligan itu tidak hanya terbentuk saat sang orang tua menjalin ikatan perkawinan, tetapi jauh sebelum mereka saling mengenal, yakni masa remaja mereka. Masa remaja orang tua, menurutku, juga mempengaruhi anak yang kelak dilahirkan. Seperti ada kesatuan organis yang tidak bisa dipisahkan dari kedua orang tua, dalam bahasa filsafatnya Whitehead disebut “actual entities” atau “actual occasions” (satua-satuan aktual atau satuan-satuan peristiwa).
Selain itu, tata perilaku seks orang tua juga turut mempengaruhi watak si anak. Dahulu, masalah seks merupakan sesuatu yang tabu diperbincangkan di publik. Perkawinan jasmaniah dan rohaniah merupakan mitsaqon gholidha (perjanjian berat/luhur yang disaksikan malaikat). kalaupun harus diberpincangkan, biasanya dilakukan secara pribadi atau melalui sang guru. Dalam cerpennya Ahmad Tohari disebut gowok. Gowok adalah instruktur seks yang mengajari calon pengantin tentang tata cara bersenggama. Jadi, semua masih pribadi, tidak dikoar-koarkan. Selain itu, tujuan seks, selain kesenangan lahir, juga bermaksud menitiskin bibit unggul, anak-anak yang wibowo mukti.
Lantas, bagaimana dengan sekarang? Apakah seks masih dianggap sakral, atau malah hanya sebagai kegiatan rutin yang hilang makna dasarnya? Apakah munculnya berbagai macam obat kuat, “penambah panjang dan besar” tak lain bukti bahwa seks ditarik menjadi sekadar kepuasan badaniah? Perilaku seks semakin menyimpang, sehingga sulit dibedakan mana caranya manusia, mana caranya binatang. Apakah semua itu turut mempengaruhi pertumbuhan watak anak-anak? Mari kita renungkan dan baca dari gejala-gejala yang ada.
Masa kehamilan pun demikian, ada acara “tingkepan”, “piton-piton”, “babaran”, dan lain sebagainya. Belum lagi pantangan-pantangan yang harus dijalani oleh orang tua calon jabang bayi. Biasanya, mereka disuruh sabarlah, dilarang menyiksa hewan, tidak motong rambut sampai bayinya lahir. Konon, ada tetangga yang istrinya hamil, si suami malah menyiksa hewan pada bagian tertentu. Saat anaknya lahir, ternyata si anak cacat sesuai bagian hewan yang disiksa oleh si suami tersebut. Entah benar atau tidak, tetapi ketakutan semacam itu sampai sekarang masih menyelimuti orang-orang desa. Ibaratnya, masa kehamilan itu tak lebih bagaikan masa “ngentung”, perlu laku prihatin (tapa) agar kelak anak yang lahir dan sang istri menuai keselamatan.
Memasuki abad teknologi informasi, penganggungan rasio dan keilmiahan mungkin hal-hal yang saya sebutkan tadi terdengar lucu dan aneh. Pekerjaan yang sia-sia, takhayul, hanya membuang-buang waktu saja. Toh, sekarang ini yang dituntut kecepatan. Siapa cepat, ia dapat. Hal-hal seperti itu sudah selayaknya ditinggalkan saja, tidak ada gunanya. Kalaupun masih ada hanya diambil artistiknya, tak perlu dipelajari makna dan hakikatnya. Yang parah mungkin adalah jika pernikahan hanya sekadar “yang penting happy”.
Bolehlah kita memandang sinis dengan adat budaya yang ada. Menganggap sebagai perilaku primitif dan ketinggalan zaman. Namun, banyak hal yang tidak dapat kita mungkiri dengan fakta-fakta yang ada. Kenapa sekarang ini banyak bayi yang lahir cacat? Bukankah medis, kebidanan, dokter spesialis kandungan kini menjamur? Di lain sisi, kenapa sekarang ini banyak fenomena kerusakan moral, seperti tawuran, terorisme, seks bebas, korupsi? Bukankah lembaga agama sekarang ini bak jamur di musim hujan? Bukankah ceramah keagamaan setiap waktu ditayangkan di media massa? Bukankah kurikulum sekolah juga memuat moralitas, pembentukan karakter? Lho, kenapa dengan “bau-bau agama/moral” itu tak bisa menyelesaikan masalah kemerosotan moral? Malah sebaliknya, seolah saling bekejaran satu sama lain. Adakah sesuatu yang salah?
Pernah aku menulis kemerosotan moral yang tengah melanda ini bukan semata faktor lingkungan, melainkan ada faktor lain, yaitu “ligan-ligan” yang disumbangkan kedua orang tua sehingga mempengaruhi keruwetan perilaku sang anak. Ligan-ligan itu tidak hanya terbentuk saat sang orang tua menjalin ikatan perkawinan, tetapi jauh sebelum mereka saling mengenal, yakni masa remaja mereka. Masa remaja orang tua, menurutku, juga mempengaruhi anak yang kelak dilahirkan. Seperti ada kesatuan organis yang tidak bisa dipisahkan dari kedua orang tua, dalam bahasa filsafatnya Whitehead disebut “actual entities” atau “actual occasions” (satua-satuan aktual atau satuan-satuan peristiwa).
Selain itu, tata perilaku seks orang tua juga turut mempengaruhi watak si anak. Dahulu, masalah seks merupakan sesuatu yang tabu diperbincangkan di publik. Perkawinan jasmaniah dan rohaniah merupakan mitsaqon gholidha (perjanjian berat/luhur yang disaksikan malaikat). kalaupun harus diberpincangkan, biasanya dilakukan secara pribadi atau melalui sang guru. Dalam cerpennya Ahmad Tohari disebut gowok. Gowok adalah instruktur seks yang mengajari calon pengantin tentang tata cara bersenggama. Jadi, semua masih pribadi, tidak dikoar-koarkan. Selain itu, tujuan seks, selain kesenangan lahir, juga bermaksud menitiskin bibit unggul, anak-anak yang wibowo mukti.
Lantas, bagaimana dengan sekarang? Apakah seks masih dianggap sakral, atau malah hanya sebagai kegiatan rutin yang hilang makna dasarnya? Apakah munculnya berbagai macam obat kuat, “penambah panjang dan besar” tak lain bukti bahwa seks ditarik menjadi sekadar kepuasan badaniah? Perilaku seks semakin menyimpang, sehingga sulit dibedakan mana caranya manusia, mana caranya binatang. Apakah semua itu turut mempengaruhi pertumbuhan watak anak-anak? Mari kita renungkan dan baca dari gejala-gejala yang ada.
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon