Sumber gambar: radar-karawang.com |
Kira-kira seminggu selepas gerhana rembulan, saya pulang ke
kampung untuk silahturahmi ke orang tua. Seperti biasa, ibu saya tanya
keadaan dan bebarapa peristiwa yang baru saja terjadi, yakni gerhana rembulan. Beliau
bertanya kepada saya, kira-kira firasat apa dengan kejadian gerhana rembulan? Saya tidak heran dengan pertanyaan beliau. Bagi saya, hal-hal seperti kejadian gerhana rembulan,
gempa, dan lain-lain di bulan tertentu bagi orang tua saya mempunyai makna
tersendiri yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi.
Saya pun tak menjawab pertanyaan beliau, sebab
tidak ada dasar ilmu untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bahkan,
pada zaman dahulu,
ketika cucu Nabi Muhammad saw. meninggal dan bertepatan dengan gerhana,
masyarakat Arab banyak yang menghubung-hubungkan dua
peristiwa tersebut. Nabi Muhammad saw. membantah bahwa kejadian gerhana dengan
kematian cucunya memiliki
keterkaitan. Gerhana semata-mata bukti kekuasaan Tuhan.
Lama tidak ada jawaban dari saya, beliau pun bertutur bahwa firasat gerhana rembulan yang terjadi
di bulan Suro (Muharram) itu akan ada raja/ratu yang meninggal. Saya
keget dengan jawaban beliau: benarkah ada raja/ratu yang meninggal?
Raja/ratu sepadan dengan presiden atau pemimpin. Siapakah pimpinan negeri ini
yang akan meninggal? Kalau benar terjadi berarti bangsa ini akan menjadi yatim dong? Sekali lagi, saya belum paham
tafsirnya ibu. Kalau benar bangsa ini bakal
menjadi “yatim”, lalu apa makna yatim itu? Sebab, saat ini para pemimpin negeri ini sehat wal’afiat, kalaupun ada
pemimpin yang meninggal itu pemimpinnya rakyat Korea Utara, bukan negeri ini.
Apakah yatim yang dituturkan ibu saya berarti lughowi atau maknawi?
M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbahnya,
menuliskan bahwa “yatim” yang diambil dari kata yutm memiliki arti
kesendirian. Bahasa menggunakan kata tersebut untuk menunjuk anak manusia yang
belum dewasa sedangkan ayahnya telah wafat, atau anak binatang yang induknya
telah tiada. Kematian ayah, bagi seorang yang belum dewasa, menjadikannya
kehilangan pelindung, ia seakan-akan menjadi sendirian, sebatang kara, karena
itu ia dinamai yatim. Perlu dicatat bahwa walaupun ada ayat-ayat dalam Alquran yang berbicara anak yatim, namun maknanya dapat diperluas
sehingga mencangkup semua orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan.
Hemat saya, mengenai firasat tentang kematian raja/ratu
yang menjadikan bangsa ini yatim tak lebih ungkapan simbolis. Sebuah simbol
terjadinya sikap ketidakadanya kepedulian terhadap yang lemah, terpinggirkan, bahkan yang terkatung-katung mencari keamanan. Begitu pula dengan kata
raja/ratu, itu hanya simbol halus yang merujuk pada pemimpin. Entah itu
pemimpin rumah tangga, perusahaan, pendidikan, maupun negara. Yang jelas ratu/raja ini mempunyai kewenangan untuk
memangku, ngemong, dan mengayomi yang menjadi kuasanya.
Bukti akan keyatiman bangsa ini tengah terjadi
hingga akhir tahun ini. Mulai skala kecil, yakni rumah tangga, banyak anak-anak
yang kleleran, istri-istri yang disiksa, suami yang jauh dari istri
karena alasan tempat kerja. Lebih menyedihkan lagi kalau ada kasus pelecehan
terhadap anak yang dilakukan oleh keluarganya sendiri. Pasalnya, keluarga
seharusnya menjadi tempat terindah, istana yang melindungi segenap penghuninya
berubah menjadi momok yang menakutkan.
Keyatiman keluarga merembet ke ranah kehidupan
berbangsa. Sepanjang tahun ini berapa kasus yang menyayat dada kita. Mulai
perekonomian, keamanan, pendidikan, keagamaan, hubungan sosial kemasyarakatan
menunjukkan adanya gejala bahwa bangsa ini tengah yatim.
Meski bangsa ini para memiliki pemimpin, namun seolah-olah mereka itu hanya simbolisme. Simbol yang menandakan kalau bangsa ini memiliki “bapak”
yang bisa dimintai pertolongan dan menumpahkan segala keluh kesah. Kenyataannya, “bapak-bapak” ini sedikit yang menyadari dirinya sebagai bapak yang
mengayomi, memberikan nafkah pada anak-anaknya, bahkan “bapak-bapak” inipun
kadang berlaku seperti anak-anak.
Rengekan tangis anak tak dihiraukan, sehingga
sang anak harus melakukan aksi jahit mulut, aksi membakar diri seperti yang
baru saja terjadi. Ya mungkin sang bapak terlalu lelah bekerja, tetapi
bagaimanapun juga sang bapak juga tidak bisa berlaku acuh, sebisa mungkin sang
bapak harus ngeneng-ngeneng anaknya yang lagi sedih itu.
Kasus penggusuran, rusuh
antarkampung, terorisme, atau peristiwa-peristiwa lainnya bagaikan anak-anak yang lagi bertengkar
memperebutkan sesuatu. Melihat seperti itu, bapak sangat diharapkan
kehadirannya untuk melerai pertengkaran. Namun yang terlihat, sang bapak malah
ikut larut pada pertengkaran itu. Akhirnya, pertengkaran bukan lagi melibatkan
anak-anak tetapi sang bapak pun ikut “gebuki” anak-anaknya tadi.
Ketidakadilan cara mengadili maling negara dan
maling ayam menjadi cermin kalau ada emban cinde emban siladan dalam
memperlakukan sama-sama “maling”. Maling negara dikawal ketat, dilindungi
pengacara hebat bahkan tak tanggung-tanggung terkadang di dalam sel mendapat
sel mewah, tetapi kalau maling ayam malah babak belur di tangan massa. Padahal
nilai ayam yang dicuripun tak sebanding harga pengobatannya. Belum lagi masalah
kaum minoritas di negeri ini, mereka yang dianggap salah seharusnya dilindungi
meski bukan melindungi kesalahannya, tetapi lebih keselamatan diri dan keluarganya
dari hujatan, ancaman teror malah tersandung kesana-kemari, tak jelas kepada
siapa mereka mencari perlindungan lagi.
Inilah
potret keyatiman bangsa ini, kondisi di mana bangsa ini dilindungi, diurus oleh
para bapak tetapi kenyataannya semakin hari semakin susah menentukan nasibnya,
meski sekedar menyampaikan uneg-unegnya. Bangsa yang mengalami
kesendirian di tengah hiruk pikuk perebutan posisi “bapak asuh” . Semoga saja
di tahun baru ini, para bapak ini menyadari akan posisi dan fungsinya sehingga
anak bangsa kembali terurus dan menemukan tempat mengadu meski bapak itu hanya menyeka air ata yang menetes, bukankah
itu lebih berarti?
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon