chemtrailsplanet.net |
Di tengah hiruk pikuk gemerlap konsumerisme, saat nafsu mengonsumsi melebihi hasrat produksi, masihkah ada kesempatan bagi manusia bertanya, mengapa alam seperti ini, dari mana jagat raya itu berasal, ataukah jagat raya itu selalu ada; kapan waktu itu akan mengalir balik sehingga akibat akan mendahului penyebabnya?
Apakah waktu berawal-berakhir? Yang terpenting bagi manusia, apakah waktu berakhir? Jika berakhir, kapan? Tentunya, pertanyaan-pertanyaan itu menyita waktu bagi manusia modern. Dengan dalih, alangkah baiknya kalau pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak dikemukakan? Yang tepat saat dilakukan adalah bekerja dan bekerja; mencari modal sebanyak-banyaknya dan menumpuknya untuk kehidupan setelah “ini”. Atau, pertanyaan yang lebih ngeri lagi, adakah manfaat bertanya soal itu bagi kehidupan, kemajuan bisnis? Toh, kalau waktu berakhir kita juga tak akan tahu bagaimana terjadinya; seumpama berakhir, ya sudahlah, kita jalani saja.
Tinggal dua golongan yang memikirkan tentang awal-akhirnya waktu, yakni kaum agamawan dan para ilmuwan (termasuk filsuf). Golongan pertama, tentu pokok bahasannya adalah hari akhir pasalnya ini tugas utamanya menyadarkan umat beragama supaya tidak terlena dengan dunia fana dan mengabarkan bahwa ada “dunia abadi” sesudah tapal batas alam fana ini terlewati. Golongan kedua, kaum ilmuwan, saintis, termasuk filsuf. Golongan ini mempunyai ketertarikan tersendiri dengan jagat raya. Ketertarikan murni demi ilmu, berkutat dengan teori-teori dan persamaan matematika.
Perbedaan keduanya adalah sang agamawan berusaha untuk menyadarkan manusia tentang adanya hari akhir, sedangkan sang ilmuwan masih menyelidiki tentang adanya hari akhir dan kalaupun ada tugasnya hanya mengabarkan, tidak perlu menakut-nakuti: sadar tidak sadar bukan tugas pokoknya.
Bagaimana dengan kita yang awam kedua-duanya? Apakah kita akan menikmati kabar dari keduanya? Ataukah juga akan ambil bagian dari diskusi tersebut, sebab dunia yang kita tempati toh juga bukan milik dua golongan tersebut, melainkan baik-buruk, hancur-tidaknya kita juga akan turut serta bersama mereka. Kalau ikut andil, dari mana kita memulai? Siapa yang menjadi pijakan pertama untuk mendiskusikan awal-akhirnya waktu? Mengikuti orasi kaum beragama terkadang jengah: kok isinya cuma itu-itu saja, kok semacam dongeng masa depan? Atau, bagi masyarakat ilmiah yang agak religius: bisakah cerita berakhirnya waktu itu dikemas dengan cara ilmiah?
Sebaliknya, mengikuti pemaparannya kaum ilmuwan, rasanya terlalu sulit untuk mencerna diskusi riset mereka. Kenapa awal-akhir waktu, kondisi jagat raya seisinya harus dibicarakan dengan persamaan matematika? Seakan para ilmuwan hanya asyik dengan dunianya, dengan temuannya, dan kemudian menikmatinya sendiri pula. Adakah temuan-temuan, diskusi-diskusi tentang jagat raya itu bisa dinikmati kaum awam? Ataukah kaum awam memang tidak perlu merepotkan diri untuk andil dalam diskusi awal-akhir jagat raya? Istilah tepatnya suwargo nunut neroko katut, terserah imam yang dipilih.
Stephen Hawking, sebagai professor Matematika di Cambridge dan ketua Royal Society, satu kedudukan yang pernah dijabat Newton. Dengan fisik yang lemah di kursi roda, tanpa bisa berbicara, dan hanya berkomunikasi lewat komputer, ia memahami jika temuan-temuan ilmiah yang sarat dengan istilah fisika dan persamaan matematika menjadikan selain ilmuwan merasa enggan untuk bersentuhan dengan temuan tersebut. Padahal informasi temuan itu, apalagi yang berkaitan dengan jagat raya juga harus bisa dinikmati oleh kaum di luar kaum ilmuwan. Jagat raya juga harus dipikirkan oleh setiap manusia yang sudah menempatinya. Hal itulah yang menggerakkan Hawking untuk menyusun buku tentang riset-riset kosmologi dan teori kuantum; gagasan-gagasan dasar mengenai asal-usul dan nasib jagat raya dapat dinyatakan tanpa matematika, dalam bentuk yang dapat dipahami oleh mereka yang tidak berpendidikan sains.
Buku Riwayat Sang Kala (A Brief History of Time) merupakan buah karya Hawking mengenai riset-riset kosmologi yang dikemas dengan meniadakan persamaan matematika, kecuali hanya persamaan Einstein (E=MC2). Dalam buku ini, Hawking sangat menonjolkan hukum-hukum yang mengatur gravitasi, karena gravitasilah yang membentuk struktur skala-besar jagat raya, meskipun gravitasi merupakan forsa yang terlemah di antara empat forsa.
Hukum gravitas tidak cocok dengan pandangan bahwa jagat raya tidak berubah dengan majunya waktu. Sebab, gravitas selalu bersifat menarik maka pastilah jagat raya itu memuai atau mengerut. Pandangan bahwa jagat raya statis baru akhir-akhir ini saja ditinggalkan orang. Menurut Teori Umum Relativitas, pastilah ada suatu keadaan dengan rapatan tidak terhingga besar pada masa lalu, yaitu dentuman besar, yang akan merupakan awal efektif waktu. Serupa pula, jika seluruh jagat raya runtuh kembali, haruslah ada suatu rapatan tidak terhingga besar dalam masa depan, kerkahan besar, yang akan menjadi akhir waktu.
Jika jagat raya keseluruhan tidak meruntuh kembali sekalipun, akan ada singularitas dalam setiap kawasan lokal yang runtuh dan membentuk lubang hitam. Singularitas ini akan merupakan akhir waktu (kiamat?), bukan hanya akhir hayat, bagi siapa pun yang terjatuh ke dalam lubang hitam itu. Pada dentuman besar dan singularitas lain, semua hukum akan runtuh dan tidak berlaku, sehingga Tuhan masih mempunyai kebebasan penuh untuk memilih apa yang akan terjadi dan bagaimana jagat raya memulai.
Dapat dikatakan, permulaan jagat raya dimulai dengan Dentuman Besar (Big Bang), dari titik singularitas yang kemudian meledak ke segala arah yang dibarengi dengan penurunan laju suhu dalam setiap satuan waktunya. Entah, apakah untuk memudahkan proses Big Bang ini para ilmuwan mengizinkan bagi kaum awam untuk membangun imaji bahwa keadaan Big Bang itu semacam kacang polong, mampat, suhu bermilayar derajatnya, karena hal tertentu kacang polong tadi meledak dan serpihannya menyebar ke mana-mana kemudian membentuk galaksi, bintang, planet, bahkan makhluk sekompleks manusia? Nah, serpihan-serpihan yang membentuk aneka warna isi alam semesta itu akan terus berkembang dan melaju ke segala arah? Dan sampai kapan? Di mana berhentinya?
Lubang hitam (Black Hole)-lah akhir dari perjalanan itu. Lubang hitam adalah keadaan yang dihasilkan dari bintang runtuh, karena massanya terhisap oleh gaya gravitasinya yang begitu kuat sehingga tak satu pun yang ada di atasnya berhasil lari dari jeratannya, sekalipun itu cahaya. Untuk memudahkannya mengenai awal-akhir jagat raya, mungkin bisa dikatakan: bermula dari titik dan akan kembali ke titik, dari tiada dan akan menuju ke tiada pula.
Tersisa pertanyaan apakah keruntuhan (lubang hitam) itu bersifat bersamaan atau hanya sebagian di setiap galaksinya? Jika hanya sebagian saja, bagaimana dengan bintang yang lain, apakah ia akan berkembang terus tanpa tapal batas? Jika usulan ruang tanpa-tapal-batas itu benar, Tuhan tidak mempunyai kebebasan sama sekali dalam memilih kondisi (syarat) awal jagat raya. Tentu saja Tuhan masih mempunyai kebebasan untuk memilih hokum-hukum yang harus dipatuhi jagat raya.
Laksana haus dengan hukum, teori, persamaan atau seperangkat aturan yang bisa mengobati akan kerumitan tentang asal usul jagat raya para ilmuwan terus menerus berusaha mensintesis formula yang tepat untuk mengatakan: dari mana dan akan ke mana jagat raya ini? Ketika persamaan itu dicapai apakah yang member jiwa kepada persamaan itu dan membuat suatu jagat raya untuk diperikan dengan persamaan itu? Mengapa jagat raya harus bersusah-payah untuk eksis?
Cita-cita untuk menemukan suatu teori terpadu-yang bisa menjelaskan segalanya bahkan sampai kepada pencipta dari jagat raya itu sendiri, menjadi impian bagi para ilmuwan, khususnya Stephen Hawking. Tetapi teori itu harus bisa dipahami oleh semua kalangan, tidak hanya kaum ilmuwan saja. Sehingga semua orang pada akhirnya pun dapat mengambil bagian dalam diskusi mengenai mengapa kita dan jagat raya ini ada. Selama ini pertanyaan yang sering mencuat di kalangan ilmuwan masih ‘apakah’ belum ‘mengapa’. Sampai kapankah cita-cita menemukan teori terpadu itu ditemukan? Apakah kita yakin bahasa yang digunakan bisa dipahami oleh kalangan luar ilmuwan, sebab buku yang ditulis oleh Hawking ini pun tak bisa keluar dari kerumitan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang awam. Dan memang, hemat saya, bahasa ilmiah tidak sama dengan bahasa sehari-hari yang terjadi di kalangan masyarakat bawah. Meski dengan usaha yang keras, kenyataannya masih saja ada kesulitan untuk menyampaikan isi riset-riset kosmologi. Sudah sepatutnya, Hawking mendapat apresiasi karena telah membuka tutup kran diskusi bagi pihak-pihak yang tertarik dengan asal-usul jagat raya. Tidak hanya ilmuwan saja yang berkepentingan membicarakan persamaan matematika, tetapi juga para filsuf dan para kaum beragama sebab bagaimana pun implikasi dari persamaan tersebut tidak hanya berkutat pada ilmuwan saja, tetapi ke masyarakat luas meski tidak lagi dalam bentuk persamaan fisika tetapi dalam wujud paradigma mengenai alam raya dan Tuhan itu sendiri.
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon