Puthut EA dan Seekor Bebek

Sumber gambar: gambarcantik.blogspot.com

Bebek? Apakah Puthut EA hendak bercerita fabel? Tidak, ia tidak menceritakan dunia binatang layaknya kisah yang disuguhkan untuk anak-anak sebagai pengantar tidur. Namun, melalui bebek, Puthut EA benar-benar ingin mencari keadilan melalui kisah-kisah dalam cerita pendeknya.

Di tengah-tengah kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar kisah-kisah yang dimuat melalui dialog-dialog binatang. Sepertinya, pembuat cerita sengaja ingin menyamarkan dirinya melalui pentokohan binatang sebagai penyambung lidah. Ada dua kemungkinan mengapa si penulis “menyembunyikan” diri di alam binatang. Pertama, konteks waktu cerita itu dibuat. Ini berkaitan dengan sikap pengusa soal kebebasan warganya. Kita tahu, kebanyakan penguasa sangat menginginkan sikap manut, membebek dari rakyatnya. Sebab, suara-suara rakyat terkadang menjadi ancaman kekuasaan. Latar belakang inilah, seorang sastrawan harus menyalakkan kreativitas untuk menyelamatkan imajinasinya.

Kedua, pencetus cerita memang membuat ceritanya samar, tanpa melukai pihak manapun meski begitu amanat tetap tersampaikan. Menjalankan, mendialogkan binatang lebih aman dibandingkan harus menggunakan nama-nama manusia. Sebab, manusia masih terikat dengan manusia lainnya, terikat budaya, sikap ewuh pakewuh. Sedangkan dialog binatang tentunya lebih bebas, vulgar, menukik tajam dalam kritikannya: namanya juga binatang.

Ada yang beda dengan Putuhut EA dengan Bebek-nya. Dalam ceritanya ini, si bebek bukan subjek yang bertutur sesama binatang lainnya, atau dengan manusia layaknya burung bayan pada majikannya. Posisi bebek lebih mirip objek yang dipinjam untuk mengkritik realitas politik yang tengah terjadi: purbasangka yang tak berdasar dan terbukti secara sah serta menyakinkan, kecuali sebatas ikut-ikutan menghakimi. Dosa warisan inilah yang digunakan untuk melabelisasi seseorang yang tidak pernah ikut melakukan tindakan-tindakan yang disematkan penguasa.

“Aku takut sekali. Orang-orang menuduh aku yang membunuh bebek itu, hanya gara-gara mereka melihatku habis bermain di kali, dengan ketapel mengalung di leher...”

Pertarungan yang cukup sulit diterima oleh “aku”. “aku” hanya menjadi tumbal keberadaannya yang kebetulan berada di pinggir kali beserta ketapel yang mengalung di leher. Posisi yang sulit untuk menjelaskan dan membuktikan kalau “aku” bukan pembunuhnya. Sementara “aku” terlanjur membawa ketapel sebagai alat, meskipun tidak digunakan, yang bisa melenyapkan nyawa bebek. Bagaimana “aku” dapat menjelaskan kalau ia bukan pembunuhnya? Bagaimana “aku” dapat mengembalikan nama baiknya yang saat ini tertuduh sebagai pembunuh bebek, sedangkan masyarakat terlanjur mengamini bahwa si “aku”lah biang kematian bebek itu.

“Tidak ada orang yang percaya kalau aku tidak melakukan itu. hanya ada dua orang yang mempercayaiku: bapakku dan bulikku. Bapakku membayar ganti rugi ke si pemilik bebek, dan sempat berbisik, percaya kalau aku tidak melakukan itu.”

Meski bebek yang mati telah diganti, bapak dan buliknya “aku”, tetapi, cap “pembunuh” telah mendarah daging pada otak masyarakat. Sehingga menjadi beban mental bagi si “aku”.

“Bangkai bebek itu seperti horor bagiku. Sampai sekarang, bebek itu masih sering hadir dalam mimpi-mimpiku yang meresahkan.”

Coba bayangkan, gara-gara “bebek” mati, dunia mimpinya pun terteror. Padahal mimpi merupakan dunia bebas, dunia yang berpeluang untuk kita menjadi raja, menjadi pecinta sejati, mencium orang-orang terkasih tanpa ada rasa malu pada Tuhan. mimpi itu dunia bebas, dunia tanpa sensor.

Namun, Puthut EA memang sengaja membeberkan kepada pembaca bahwa cap pembunuh, subversif, atau sematan-sematan yang lain dan dikuatkan masyarakatkan akan membunuh perlahan-lahan bagi pelakunya. Penghukuman yang tak terperikan.

Bebek benar-benar menjadi biang keladi permasalahn bagi “aku”. Dari bebek, oleh Puthut EA, meloncatkan “aku” untuk menuturkan kehidupannya, keluarganya. Bapaknya hilang, “Ia diseret dari rumah.” Sedangkan Buliknya yang dianggap ibu oleh “aku” pun hilang entah kemana, “...beberapa orang bilang, ia gila, tapi ada juga orang yang bilang, ia mati.”

Sebuah titik klimak beranjak mulai. Bebek mati, bapaknya yang hilang, dan buliknya yang hilang: entah benar gila atau mati. Menyeret “aku” hidup kepontang-panting. Tidak jelas. Bahkan cita-citanya pun tak mulus, hanya gara-gara dia keturunan komunis, “Aku ingin jadi guru, lalu mendaftar masuk SPG, tapi ditolak. Padahal aku lulusan terbaik. Anak seorang komunis tidak boleh jadi guru, begitu selentingan yang kudengar.”

Ternyata, penderitaan “aku” tidak berhenti pada gagalnya cita-cita, malah sebaliknya menjadi bara yang menyulut kebencian bapaknya yang dianggap sebagai biang semua kegagalannya.

“Aku sekolah di SMA. Di hatiku, mulai timbul rasa benci kepada bapakku. Lulus SMA, aku membuka toko kelontong di dekat terminal. Aku jatuh cinta dengan seorang perempuan, ia sekolah SPG. Ketika hubungan kami mulai dekat, tiba-tiba ia memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan. Ia takut tidak bisa menjadi guru jika menikah denganku.”

Bagi saya, inilah korelasi antara mimpi dan cinta “aku” yang penuh teror. Mimpi sebagai dunia bebas sensor dan cinta yang merupakan hak fitrah manusia pun ikut terampas oleh label-label yang pada waktu itu benar-benar menjadi momok bagi kehidupan seorang bekas keluarga komunis. Cap yang paling ditakuti bahkan bisa menjadi dosa waris yang seakan-akan tak termaafkan oleh masyarakat dan penguasa. Komunis semacam koreng yang membekas pada tubuh bangsa ini.

Teror-teror itu benar-benar membuat “aku” dalam kehidupan yang tehimpit. Frustasi, kamarahan yang meledak membuat “aku” gelap mata. “aku” terbawa kebencian masyarakatnya untuk membenci bapaknya. Meskipun “aku” sendiri tidak tahu apakah bapaknya benar-benar seorang komunis atau bukan. Tetapi, kemarahan yang meledak kepada bapaknya itulah yang menggerakkan “aku” membunuh bapaknya, yang oleh puthut EA disamarkan menjadi “bebek”:

“Aku membunuh bebek itu. Aku mengetapel tepat di kepala bebek itu. Aku melihatnya menggelepar...aku mendengar suara rintihannya.”

“Bebek itu...Nasib burukku...”

Melalui kumpulan cerpennya ini, puthut EA sepertinya ingin mengajak kepada kita untuk mengetahui bahayanya pelabelisasian dengan cap-cap yang sangat tidak sepatutnya diberikan kepada seseorang. Sebab, penghukuman yang “tidak diketahui” lebih menusuk dan mematikan seseorang. Melalu Bebek-nya, Puthut EA mencari keadilan-keadilan yang selama ini terbungkam, bahkan bukan oleh penguasa saja tetapi juga dilakukan oleh masyarakat. Ini dapat dibaca-baca pada cerpen-cerpen selanjutnya. Bebek hanyalah pembukanya saja.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment