"Di kampus ini telah dipahatkan kemerdekaan, segala despot tidak bisa merobohkanmu"
Kalau melihat rentetan sejarah Indonesia, mulai prakemerdekaan sampai pasca reformasi, "Mahasiswa, kampus dan demo", seolah-olah tiga unsur itulah yang membawa perubahan dramatis di Indonesia, tanpa mengesampingkan pihak yang lain. Dalam hal ini, posisi mahasiswa sebagai bagian dari kaum intelektual yang berkewajiban mengamalkan ilmunya serta melakukan koreksi terhadap perubahan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat sekaligus sebagai aktor perubahan itu sendiri. Mereka adalah "Corong-corong" nurani yang terus menerus menyadarkan masyarakat luas akan problema yang ada dan memberikan alternatif terhadap problema itu sendiri.
Seperti yang dikatakan Prof. Dr. Soleh Salahuddin bahwa tugas pokok mahasiswa memang belajar dengan belajar mereka punya keahlian yang bisa digunakan untuk berkarya. Tetapi mahasiswa juga membawa misi sebagai kader bangsa, mereka harus tetap peka terhadap lingkungan. Karena kritis adalah salah satu cirri kaum intelektual. Jiwa kritis inilah yang diperlukan bagi negara yang sedang berkembang seperti Indonesia untuk menuju tatanan yang mapan. Keberadaan kampus tak ubahnya sebagai "Kawah candradimuka" yang menggodok jiwa, mental, serta akal calon penerus pemimpin bangsa. Disinilah diberikan nilia-nilai ideal kehidupan yang perlu dipraktikan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian kampus tidak hanya tempat belajar dan meraih gelar elit semata melainkan menaikkan peranan, yang menurut Arbi Sanit, pertama, sebagai pembawa dan perangsang perbaikan kondisi masyarakat. Kedua, kampus merupakan sumber politik yang berpotensi tinggi.
Gelombang protes merupakan salah bentuk ekspresi solidaritas terhadap masyarakat. Protes yang dilakukan bukan serta merta tanpa alasan, keadaan yang dirasa sudah tidak stabil haruslah dibenahkan kembali agar kehidupan bernegara kembali normal. Kebijakan negara perlu ada yang mengontrol sehingga ada cek and balance antara pemerintah dengan masyarakatnya. Setidaknya, berbagai gelombang protes mahasiswa yang terjadi diberbagai tempat timbul dikarenakan adanya frustasi yang disebabkan oleh deprivasi relative yakni semakin lebarnya perbedaan antara "Value expectation" dan "Value capability", ditambah dengan adanya lima kondisi sosial sebagaimana disebutkan oleh Smelser yaitu: "Social conduciveness, structural Strain, generalized belief, mobilization for action" dan "Lacks of social control". (Dr. Sarlito Wirawan sarwono.1978:199).
Gerakan reformasi 1998 terjadi tak lepas dari situasi bangsa yang memasuki tahap-tahap kritis. Krisis ekonomi telah dirasakan sejak pertengahan juli 1997. padahal dalam dekade tersebut penggenjotan terhadap perubahan ekonomi merupakan menjadi sasaran pemerintahan orde baru. Tak ayal jika masa orde baru adalah era pembangunana. Tetapi rencana "Genjot" ekonomi tersebut membawa implikasi terhadap penggencetan terhadap sektor-sektor yang lain seperti keadilan, HAM dan lainnya yang sering kali mengatas namakan "Demi pembangunan".
Krisis ekonomi menyeret ke krisis-krisis yang lain seperti krisis moral, krisis politik sehingga kondisi Indonesia benar-benar carut marut. Dalam situasi demikian, elit politik seolah "Adem ayem" menyikapi situasi yang demikian. Dalam kebekuan situasi yang demikian mahasiswa segera "Cancut tali wondo", menyingsikan lengan baju menembus kebekuan-kebekuan yang sedang berlangsung. Merekalah bulldozer yang menggempur bangunan politik yang dinilai sudah tidak peka terhadap kondisi bangsa. Di bawah nyalak senapan beramunisikan peluru karet maupun timah panas tak dipedulikan. Gas airmata ditembakkan tetapi bagi mereka air mata bangsa sudah terlampau banyak dikeluarkan, akibat ditembak berbagai kebijkan yang memedihkan mata, mereka tetap satu kata: reformasi harus terjadi!.
Dari gerakan ini sebetulnya yang ingin dicapai mahasiswa adalah perubahan di Indonesia karena merupakan tuntutan alamiah dan itu merupakan fitrah manusia yang ingin selalu menuju kehidupan yang lebih adil. Tetapi sayang antara penguasa dan rakyatnya terjadi perbedaan persepsi. Penguasa mengartikan tuntutan perubahan sebagai tindakan "Subversive" yang perlu ditangani dengan barisan tank. Padahal, apa yang dituntut mahasiswa memang sedang terjadi di tanah air ini. Keadaan ini dirasakan juga oleh masyarakat luas termasuk polisi akan tetapi merekalah yang ditugasi menggebuki mahasiswa memang polisi bertugas dalam keadaan dilema.
Aksi mahasiswa bersifat riil yaitu terciptanya kondisi ekonomi yang stabil, perwujudan politik yang transparansi tanpa adanya pemaksaan terhadap rakyat, terciptanya demokrasi serta membangun Indonesia yang jujur bebas dari KKN.
Dengan demikian, gerakan aksi mahasiswa tersebut bukanlah bertujuan membuat kekacuan apalagi mengancurkan bangsa ini melainkan membuat Indonesia kembali lagi pada fitrah kemerdekaan. Merdeka dari penindasan, pemaksaan, penipuan serta merdeka untuk hidup, berpendapat, mendapatkan pekerjaan,dan hak untuk mendapatkan pendidikan. Kalau mahasiswa dilarang menyampaikan "Uneg-uneg"nya terus siapa yang akan menyampaikan dan meneriakkan aspirasi masyarakat? Apakah parpol yang berteriak-teriak jika menjelang musim pemilu? Nurani andalah terdapat jawabannya itu.
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon