Wiji Thukul dan Puisi Perlawanan


Sumber gambar: cdn.metrotvnews.com


Wiji Thukul hanyalah secuil penyair, sastrawan dan seniman yang tak disukai rezim, kala itu. Ia bagaikan “bunga tembok” yang tidak pernah diharap oleh “sang tuan” tumbuh rembuyung di sekitar rumah. Mau atau tidak, bunga itu harus disingkirkan. Dan, itu kenyataan yang dialami penyair pelo tersebut.
Wiji Thukul yang bernama asli Wiji Widodo memang bukan penyair yang asyik dengan dunia “percintaan” yang mendayu-dayu. Selain itu, puisi-puisinya terkesan menghindari metafora-metafora yang berbelit-belit. Yang tertulis di sajak-sajaknya bak martil yang langsung menghantam sasaran kritik, tanpa suara “nang-ning-nung-neng”. Hal ini terungkap seperti pada sajak “Masihkah Kau Membutuhkan Perumpamaan?”

Waktu aku jadi buronan politik
Rumahku digrebek –biniku diteror
Dipanggil koramil diinterograsi diintimidasi
(anakku—4 th—melihatnya!)
Masihkah kau membutuhkan perumpamaan
Untuk mengatakan: AKU TIDAK MERDEKA

Coba simak, kalau pembaca mencari rima pada sajak tersebut, saya sendiri, tak menemukan. Bahkan, sepertinya ia bertutur apa adanya, bercerita tanpa tedheng aling-aling, tak perlu diindah-indahkan. Bukannya tidak lihai memainkan dan mendayukan kata-kata—Wiji Thukul pernah menjadi anggota teater Jagat, Solo,  yang masih di bawah asuhan W.S Rendra—tetapi karena keadaan yang tak memungkinkannya menuliskan dengan nada langgam Jawi. Sebaliknya, diksi-diksi yang ia pungut begitu bernas dan tepat dengan sasaran yang dituju.
Keadaan yang terus menggenjet setiap lini kehidupan kaum buruh, rakyat kecil yang notabenenya tak punya daya melawan. Kemerdekaan merupakan barang langka pada zamannya. Pemerintah begitu getol membungkam suara yang mencuatkan “keadilan”. “keadilan” tak lain adalah ancaman bagi kemapanan para pemangku kuasa. Dan, itu harus dilibas: siapa pun orangnya.
Saat itu penguasa seperti mengidap ketakutan. Ya , ketakutan terhadap apa saja yang beraroma melawan kekuasaan. Sehingga, dengan lihainya para penguasa menciptakan kata “subversif” dan “antek komunis”. Kata-kata yang ampuh, dan berapa puluh manusia jadi tumbalnya. Mengingat, Orde Baru merupakan masa transisi dari rezim sebelumnya. Rezim yang dipenuhi gejolak pertikaian ideologi politik. Baysng-bayang itu masih terus bergelayutan di rezim Orde Baru. Mau tak mau, dan dengan memaksa: penguasa berkewajiban menjaga “kestabilan” negara.
     Namun, “kestabilan” bagaimana yang dimaksud penguasa? Apakah, jika para buruh terus digenjet para pemilik modal, rakyat harus diam? Apakah jika berkumpul membicarakan tanah airnya diartikan sebagai persiapan melawan kekuasaan? Apakah rakyat tak berhak menafsirkan “kemakmurannya”? Apakah ketidakmerdekaan harus didiamkan? Masih pantaskah penderitaan diucapkan sebagai kebahagiaan dan dipuji demi kepuasan para penguasa ? Hanya para penjilat dan ingin hidup aman saja yang mau melakukan.
Wiji Thukul, sebagai manusia “polos”, yang hidup di belantara kaum susah, para tukang becak, dan kaum buruh tak jenak dan tenang melihat ketimpangan. Dia kepalkan tangan dan dengan lantang meneriakkan: LAWAN!
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subeversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan
(Wiji Thukul, Peringatan)

 Memang boleh saja khalayak bertanya, apakah lewat puisi kehidupan berubah? Penguasa menjadi sadar diri? Bukankah itu bak onani penulis, menyalurkan hasrat pada selembar kertas? Jawabannya bermacam-macam. Goenawan Mohamad, sang esais Catatan Pinggir, pernah mengungkapkan: tanpa aksi apalah arti puisi dan karya sastra? Tapi WS Rendra juga mengungkapkan: apalah arti penyair yang hanya bergulat pada imajinasinya sendiri jika di sekelilingnya terjadi kesusahan, ketimpangan dan itu perlu disuarakan?
Begitu pula, Wiji Thukul pun sangsi: apakah puisi mempunyai makna terhadap perubahan?

Apa yang berharga dari puisiku
Kalau adikku tak berangkat sekolah
Karena belum bayar SPP
Apa yang berharga dari puisiku
Kalau becak bapak tiba-tiba rusak
Jika nasi harus dibeli dengan uang
Jika kami harus makan
Dan jika yang dimakan tidak ada?
(Wiji Thukul, Apa yang Berharga dari Puisiku)

Ya penyair bukanlah sekedar penghibur bagi penikmat sastra, bukan pula semacam profesi yang bisa diandalkan dari “harga”nya. Justru puisi sangat tidak ada nilai nominalnya dibandingkan dengan karya sastra yang lain, sebut saja novel. Tapi penyair memang bukan ingin hidup dari kepenyairannya. Penyair juga tak akan puas ketika pendengar memberikan keplokan, tetapi keadaan tetap menggelisahkan. Penyair hanyalah status di dunia sastra, ketika terjun di dunia “asli” mereka adalah pekerja, apa saja.
Wiji Thukul sendiri pernah memburuh di pabrik tekstil, jualan koran, calo karcis bioskop, jadi tukang sablon pun dilakoni. Istrinya juga pernah membuka usaha jahitan. Wiji Thukul pernah ikut memprotes pencemaran di kampungnya akibat dari limbah pabrik textile. Waktu jadi buruh pabrik, dia pernah ikut memprotes kebijakan tempat kerjanya, akibatnya ia ditangkap dan dijemur di polsek setempat. Ya, Wiji Thukul bukanlah penyair yang hanya berdiam di balik kelir dari lakon-lakon sajaknya. Sebaliknya, dia adalah sutradara sekaligus pelaku dari karya-karyanya.
Puisinya bagaikan letusan “peluru” dari kegundahan yang dialaminya, yang dilihat dari tetangga-tetangganya, dari kawan-kawan seperjuangaannya. Inilah sajak-sajak “sikap”nya terhadap keadaan “wong cilik” yang setiap hari terbentur-bentur kesumpekan hidup, dibelilit peraraturan pemerintah, diperas oleh kaum pemodal besar.
Puisi “Suti”nya adalah kabar bagaimana nasib buruh yang menderita sakit “batuk-batuk, meludah darah” dan tak bisa pergi berobat karena gajinya cupet. Sedangkan, jika tak pergi bekerja ia teramcam tidak bisa makan, bayangan mesin menderu dan bayangan kawannya yang mati akibat penyakit yang sama bermunculan. Ya, suti hanya bisa merenungi resep dokter, sedangkan uangnya tak cukup untuk menebusnya.
Puisi-puisinya memang bagaikan “catatan kaki”, tulis Goenawan Muhamad di Catatan Pinggir (Tempo.co, 12 Mei 2013). Dia bukan judul atau isi dari wacana dalam lembaran-lembaran, tetapi hanya tulisan-tulisan kecil yang tercantum di bawah atau bahkan di akhir bab. Meski begitu, sebagaimana catatan kaki, ia menjadi penting: karena ada hal yang harus dijelaskan, yang perlu dikabarkan dari “tulisan-tulisan besar” pada lembaran-lembaran tersebut.
Dia membubuhkan catatan jika, di balik megahnya waduk ada berjuta-juta rakyat tersingkir. Di balik derapnya mesin pabrik ada buruh yang menggeliat-liat karena upah yang tak sepadan. Di balik gemerlapnya kota, ada tempat-tempat kumuh yang sesak dihudupi orang-orang yang tak menentu jadwal makannya. Wiji Thukul merasa lahir pada “Pesta yang tak Pernah Selesai” dan dengan sopan di hadapan Tuhannya, ia berujar: Tuhan aku terluka pada keindahan-Mu. Begitu halus dan menyentuh kata-katanya, tak ada gejolak seperti yang ia lampiaskan pada penguasa.
Ya, Wiji Thukul memang catatan kaki, tetapi pada zamannya “sang editor sejarah” tak suka ada catatan kaki pada lembaran-lembaran sejarahnya. Dan, akhirnya catatan kaki itu harus disingkirkan dan diganti dengan body note, yang tak banyak cuat di dalamnya.[]

*Pernah dimuat di horizon.online.com
Previous
Next Post »
Thanks for your comment