Maryam Jameelah: Si Yahudi yang Membela Islam


Sumber gambar: alfahmblog.files.wordpress.com


Seringkali timbul pertanyaan dalam benak ini, apakah semua orang Yahudi membenci Islam? Tak adakah, barangkali, satu atau dua orang dari kalangan tersebut yang membela Islam? Apakah jika “hitam” selamanya akan melahirkan “hitam”? Bila demikian, inikah garis Tuhan yang harus dijalani orang-orang Yahudi: terlahir hanya untuk membenci Islam?
Yahudi. Kaum yang selalu dinisbatkan sebagai “pembangkang”, suka usil terhadap kaum Islam yang notabene masih saudara berdasarkan nasab Ibrahim. Kaum, konon, yang sangat dibenci oleh Hitler, dan perlu dimusnahkan dengan Houloucuts-nya. Kaum yang terlunta-lunta hingga memimpikan “Tanah Perjanjian”, yang tak lain wilayah Palestina. Kaum kecil, tetapi pengaruhnya sangat berarti bagi tatanan dunia.
Pada tahun 1948, kaum Yahudi “imigran” berbondong-bondong mendesak warga Palestina untuk hengkang dari tanah airnya. Orang Palestina, Fellaheen, yang dianggap tidak sah menduduki Palestina karena mereka hanya bangsa yang berdatangan dari sekitar Laut Tengah. Invasi ini adalah lembaran baru “penjajahan” yang sampai sekarang tak kunjung berhenti. Hingga muncul semacam mitologi: Jika wilayah Timur Tengah hidup damai maka kiamat telah dekat. Itu berarti, semua orang harus menciptakan “sesuatu” demi menunda kiamat. Se-tragis itukah ketakutan umat manusia menghadapi kiamat?
Dan, apakah Si Yahudi haru tetap pada koridor jahatnya? Sedangkan, warga Palestina harus terlunta-lunta dan berdarah-darah demi kesenangan, memuaskan kepongahan manusia karena kiamat terlambat datang? Tidak adakah dari rahim Yahudi yang melahirkan manusia yang berani melawan arus kaumnya? Akankah cerita-cerita keganasan Yahudi itu bungkam menunggu Imam Mahdi yang sampai sekarang tak diketahui rimbanya?

Maryam Jameelah: Wanita dari Rahim Yahudi yang Membela Islam
Pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya bermuara menemui jawabannya. Meski ini bukan akhir dari jawaban, dan harapan kelak ada orang-orang dari Yahudi yang memiliki kebaikan harus tetap ada. Jawaban itu ada pada Maryam Jameela.
Maryam Jameela yang bernama asli Margaret Marcus adalah wanita Yahudi. Ia lahir pada 31 Mei 1934 di New York, dari keluarga Yahudi. Besar di negara “demokrasi”, bukan berarti ia lepas dari pikiran-pikiran sempit yang diciptakan keluarganya. Doktrin-doktrin kebencian seakan bau yang terus ia cium sejak jabang bayi. Liyan, khususnya Islam, Arab, dan Palestina, tetap masuk daftar bisikan kebencian orang tuanya.
Deborah Baker dalam buku The Convert—yang dialihbahasakan ke Indonesia Keluargaku Yahudi, Hidupku untuk Islam dan diterbitkan oleh Zaytuna—memuat sejarahnya: sejak kecilnya hingga ia tua. Dalam buku itu, kita bisa membaca sepak terjang Maryam yang sejak kecil memang telah diliputi ketidaknyamanan. Maryam tak menyadari jika ia Yahudi, sebab awalnya ia penganut Nasrani. Namun, ketika hari perayaan Nasrani, ia malah mendapat perlakuan yang berbeda. Maryam dilempari batu oleh teman-temanya, dan kemudian ia menanyakan kelakuan teman-temanya itu.
“Sebab, kaummu dulu yang menganiaya nabi kami,” itu jawaban yang diterima Maryam dari teman-temannya.
Sejak itu, Maryam bertekad ingin menjadi Yahudi yang baik, taat: seperti kaum-kaum agama yang lain, yang menginginkan ketaatan. Maryam berusaha mengaji ajaran agamanya, mengikuti para rabbi-nya. Namun, usahanya itu tidak membuahkan hasil. Maryam tetap saja merasa ada yang kurang terhadap keyakinannya itu. Keluarganya selalu menyodorkan kepercayaan-kepercayaan yang sulit ia terima. Cerita-cerita kaumnya tidak menjadikannya semakin cinta. Sebaliknya, timbul kegamamangan terhadap cerita tersebut.
Pada pagi hari, ketika sarapan bersama keluarga tengah berlangsung, Maryam marah kepada orangtuanya. Pasalnya, berita pagi yang ada di koran seakan membalikkan cerita-cerita orangtuanya tentang Palestina dan orang-orang Israel. Selama ini, cerita tentang bangsa Israel yang ia terima adalah bangsa yang teraniaya, terlunta-lunta, dan terusir. Keberhasilan bangsa Israel kembali ke tanah Palestina merupakan berkah dan dilakukan secara damai. Kenyataannya, berdasarkan berita yang dibacanya, Israel tak lebih seperti penjajah. Kesewenang-wenangan terhadap rakyat Palestina merupakan daftar hitam bangsa itu. Berita itu dia sobek dan dilemparkan kepada orangtuanya yang tengah asyik menikmati sarapan.
Rasa simpati Maryam terhadap bangsa Palestina yang teraniya oleh bangsa Israel kelak mengantarkannya menuliskan novel dengan tokohnya Ahmad Khalil. Novel ini mulai ia rintis sejak umur 15 tahun, namun baru rampung sepuluh tahun kemudian. Khalil hanyalah secuil lakon pilu dari manusia-manusia Palestina yang tertindas. Khalil, dalam novel itu, digambarkan sebagai sosok yang tabah dari segala hinaan, setiap kemalangan oleh perputaran nasib. Saat kecil, ia menyaksikan ibunya yang mati tersungkur karena berondangan peluru tentara Zionis. Ketika dewasa, Khalil terbuang ke Mekah, menyaksikan anaknya kehilangan iman, serta melihat Bangsa Timur Tengah tengah dilanda mantra “Kemajuan Barat”.
Maryam seakan lahir dengan kondisi “kekurangnyamanan batin”. Orangtuanya memandang anaknya itu tengah mengalami sakit jiwa. Itu berarti, Maryam harus dirawat di rumah sakit jiwa. Bisa ditebak, bagaimana rasanya hidup di rumah sakit jiwa, Maryam harus mengikuti analisis-analisis kejiwaan oleh dokter yang menganut paham Freudian. Paham yang juntrungannya adalah masalah seks yang terpendam. Maryam merasa risih dan menganggap analisis-analisis itu hanya kekonyolan.
Pada usia 19 tahun, Maryam menerjunkan dirinya untuk menelaah agama. Tentunya, ini pilihan yang tak biasa, pilihan yang tak wajar bagi gadis yang masih belia. Namun, pilihan ini adalah jawaban terhadap gonjang-ganjing keyakinan yang ia alami selama ini. Pada masa ini pula, Maryam sudah mengawali korespondensi dengan Abu A’la Maududi, tokoh pendiri Jemaat el-Islami di Pakistan. Sebenarnya, pada masa pencariannya ini, Maryam telah mendapatkan satu kesimpulan: Islam adalah agama yang benar, bisa diterima akal dan tidak bersifat kesukuan tertentu. Namun, Maryam belum berani masuk Islam, ia masih ingin mencari “kebenaran”.
Tepat mendekati usianya ke-27 tahun, Maryam menyatakan memeluk Islam. Ini berarti masa hijrahnya Maryam, baik hijrah spiritual maupun hijrah tempat tinggal. Hijrah tempat tinggal karena pada usia ini, Maryam pindah ke Pakistan. Negara Abu A’la Maududi tinggal. Di Pakistan, Maryam hidup bersama Maududi yang sudah dianggapnya sebagai guru sekaligus orangtua angkatnya. Di negeri ini, ia mulai mendalami Islam, belajar menjadi muslimah yang sesuai dengan kebiasaan wanita di sana, yakni memakai burqoh.
Selanjutnya, Maryam mulai intens mengaji agama Islam, tentang kebenarannya. Kelihaiannya tulis menulis menjadi nilai tambah baginya dalam menyuarakan Islam. Ia gencar mengkritik Barat yang dinilai merasa superior dan merendahkan peradaban lain. Buku-buku yang ia tulis berjibun, dan bernada mengkritisi Barat.
Islam and Modern Man, salah satu buku Maryam, menggambarkan bagaimana keyakinan wanita Yahudi itu tentang Islam. Ia percaya sekali bahwa ajaran Islam merupakan obat mujarab bagi manusia modern, arah kehidupan yang jelas, dan ketenangan batin yang tidak ditemukan pada ajaran paham-paham modern. Paham modern hanya menguntungkan negara-negara Barat, invasi yang merongrong budaya dan sumber daya alam bumi bangsa “primitif”. Kritiknya yang tajam tersa menggetarkan karena ditulis sesuai dengan kadarnya, orang yang pernah mengalami budaya modern.
Pada 31 Oktober 2012, Maryam meninggal dunia. Wanita yang tengah berumur 78 tahun itu tak kuasa lagi menyangga penyakit jantung. Wanita yang hidupnya terus bergelut dengan ketidakketenangan, yang sempat terombang-ambing di kancah spiritual, yang pernah mengalami ketidakharmonisan dengan Maududi karena perbedaan pendapat, bagi kaum Islam adalah sosok intelektual penting. Maryam telah menulis buku lebih dari 30 judul yang semuanya berisi tentang Islam dan kritiknya terhadap Barat.
Maryam menyuguhkan kepada kita semua, bahwa perjalanan rohani memang tak selamanya mudah. Hidayah hanya turun pada hati yang khusyuk, tawadlu’. Hati yang selalu siap menerima kebenaran meski datangnya tak terperikan: bisa dari mana saja. []
Previous
Next Post »
Thanks for your comment