Kentut merupakan sesuatu yang diharap, tetapi juga dilaknat. Ungkapan dalam pergaulan sehari-hari mengenai kentut: yen diempet dadi loro yen metu dadi perkoro, jika ditahan akan menjadi penyakit tetapi jika dikeluarkan menjadi perkara. Ya, kentut memang menjadi dilema bagi sebagian orang. Jika Anda tidak bisa kentut barang sehari saja, tentunya Anda akan kelimpungan. Rasa was-was merajam hati, perut kembung melambung, bayangan jarum suntik sang dokter menghantui. Berapa biaya yang akan Anda keluarkan jika ternyata tangan dokter itu terpaksa mengeluarkan kentut dari lokusnya?
Namun, sebab kentut pula, tidak jarang menimbulkan rasa malu. Apalagi kentut Anda tiba-tiba keluar “brutt” nyaring. Muka Anda kecut menahan malu. Betapa tidak, orang yang di sekitar akan memandang Anda dengan tatapan aneh. orang tak punya sopan, tak beradaban, tak tahu unggah ungguh, dan lain-lain. Namun, apakah Anda berani menahan kentut? Apakah Anda berani menjamin jika sistem katup “lubang angin” mampu menahan gempuran gas dari dalam perut Anda?
Sistem pertahanan tetaplah manajemen yang memiliki celah. Sewaktu-waktu bisa terbuka sendiri. Ini hal yang wajar, alamiah, dan sama sekali tidak mengenal sopan santun. Ia akan menjalani sistem metabolisme yang sudah diatur. Jika dipikir apalah salah sebuah kentut? Toh itu hal yang lumrah terjadi pada siapa saja: presiden, menteri, gelandangan. Cantik atau tidak. Semua pasti pernah ngentut.
Yang menjadi masalah, mungkin, siapa yang mengentut dan di mana kentut itu keluar? Berbunyi atau cuma nylonong begitu saja? Bau atau tidak? Saya kira inilah yang menjadi pokok persoalannya. Jika yang kentut semacam saya, dan terjadi di antara orang-orang “besar”, tentunya mereka akan mengecap saya sebagai manusia kurang ajar, orang yang tidak mampu menahan keinginan. Tapi benarkah kentut keinginan? Bukankah kentut itu kebutuhan?
Lain lagi jika yang kentut itu presiden, misalnya. Tentu tak ada orang yang berani mengecap presiden itu tak tahu diri, yang ada hanya klesak-klesik: ternyata presiden bisa kentut juga.
Sebagian kita masih menganggap kentut menjadi tolok ukur sopan santun seseorang. Orang kentut sembarangan, plus berbunyi, dianggap kurang ajar. Sedangkan, yang ngentutnya cuma nylonong dan tak berbau dianggap sopan. Entah, mulai kapan moral manusia diukur dengan kentut? Apakah moral itu kentut dan kentut itu moral? Yang jelas, realitasnya, kentut tetap saja mempengaruhi kredibilitas seseorang.
Putu Wijaya, dalam cerpen Tarzan-nya melakonkan sekaligus menggugah kesadaran kita tentang kentut. Tarzan, yang sudah siap melamar kekasihnya, ternyata gagal hanya gara-gara kentut yang tak mampu ia tahan. Di hadapan calon mertua, kentut Tarzan tiba-tiba menyeruak dengan beruntun. Ia tak bisa mengelak dengan kentut. Sang calon mertua bisa dipastikan akan menolak lamarannya. Macam mertua mana yang sudi menerima menantu yang kala pentingnya peristiwa “tiba-tiba” angin busuk menyembur kuat? Tak ada, kecuali calon mertua itu paham dan memahami tentang kentut. Celakanya lagi, Tarzan hanya pemuda biasa, dari kalangan biasa pula. Sudah jatuh keruntuhan tangga, plus tangga milik mertua.
Paradigma terhadap kentut yang salah dapat menyebabkan banyak orang yang mengelak mengakuinya. Yang ada hanya saling menunjuk: dia, bukan saya, yang kentut. Ini pertanda matinya kejantanan seseorang mengakui kentutnya. Si pengentut sibuk mencari kambing hitam, padahal kambing hitam pun tak pernah menunjuk orang lain jika hewan itu ngentut.
Orang yang paling malu, paling nervous dengan kentut adalah orang yang merasa “suci”, sopan, selalu menjaga sopan santun (meski basa-basi). Orang-orang tipe ini jika kentut hanya diam, jika kentutnya berbunyi ia akan mencari alasan: ada konspirasi dengan makanan yang ditelan. Jika bisa, orang lain yang dijadikan pakecohan.
Jika memang Anda sedang kentut, maka akuilah dengan jantan. Sebab, entah diakui atau tidak, kenyataannya Anda tetap yang kentut. Kenapa harus malu dengan kentut, toh setiap manusia pernah kentut? Yang memalukan, jika kita sibuk mencari dalih “konspirasi” yang terkait sebab musab kita kentut. Ngentulah, selagi belum ada fatwa yang melabeli halal-haramnya. Yang terpenting, jangan mengentuti kepala atau muka orang lain. Sebab, baik ada fatwa atau tidak, perilaku itu sangat-sangat membuat Tuhan murka! []
Namun, sebab kentut pula, tidak jarang menimbulkan rasa malu. Apalagi kentut Anda tiba-tiba keluar “brutt” nyaring. Muka Anda kecut menahan malu. Betapa tidak, orang yang di sekitar akan memandang Anda dengan tatapan aneh. orang tak punya sopan, tak beradaban, tak tahu unggah ungguh, dan lain-lain. Namun, apakah Anda berani menahan kentut? Apakah Anda berani menjamin jika sistem katup “lubang angin” mampu menahan gempuran gas dari dalam perut Anda?
Sistem pertahanan tetaplah manajemen yang memiliki celah. Sewaktu-waktu bisa terbuka sendiri. Ini hal yang wajar, alamiah, dan sama sekali tidak mengenal sopan santun. Ia akan menjalani sistem metabolisme yang sudah diatur. Jika dipikir apalah salah sebuah kentut? Toh itu hal yang lumrah terjadi pada siapa saja: presiden, menteri, gelandangan. Cantik atau tidak. Semua pasti pernah ngentut.
Yang menjadi masalah, mungkin, siapa yang mengentut dan di mana kentut itu keluar? Berbunyi atau cuma nylonong begitu saja? Bau atau tidak? Saya kira inilah yang menjadi pokok persoalannya. Jika yang kentut semacam saya, dan terjadi di antara orang-orang “besar”, tentunya mereka akan mengecap saya sebagai manusia kurang ajar, orang yang tidak mampu menahan keinginan. Tapi benarkah kentut keinginan? Bukankah kentut itu kebutuhan?
Lain lagi jika yang kentut itu presiden, misalnya. Tentu tak ada orang yang berani mengecap presiden itu tak tahu diri, yang ada hanya klesak-klesik: ternyata presiden bisa kentut juga.
Sebagian kita masih menganggap kentut menjadi tolok ukur sopan santun seseorang. Orang kentut sembarangan, plus berbunyi, dianggap kurang ajar. Sedangkan, yang ngentutnya cuma nylonong dan tak berbau dianggap sopan. Entah, mulai kapan moral manusia diukur dengan kentut? Apakah moral itu kentut dan kentut itu moral? Yang jelas, realitasnya, kentut tetap saja mempengaruhi kredibilitas seseorang.
Putu Wijaya, dalam cerpen Tarzan-nya melakonkan sekaligus menggugah kesadaran kita tentang kentut. Tarzan, yang sudah siap melamar kekasihnya, ternyata gagal hanya gara-gara kentut yang tak mampu ia tahan. Di hadapan calon mertua, kentut Tarzan tiba-tiba menyeruak dengan beruntun. Ia tak bisa mengelak dengan kentut. Sang calon mertua bisa dipastikan akan menolak lamarannya. Macam mertua mana yang sudi menerima menantu yang kala pentingnya peristiwa “tiba-tiba” angin busuk menyembur kuat? Tak ada, kecuali calon mertua itu paham dan memahami tentang kentut. Celakanya lagi, Tarzan hanya pemuda biasa, dari kalangan biasa pula. Sudah jatuh keruntuhan tangga, plus tangga milik mertua.
Paradigma terhadap kentut yang salah dapat menyebabkan banyak orang yang mengelak mengakuinya. Yang ada hanya saling menunjuk: dia, bukan saya, yang kentut. Ini pertanda matinya kejantanan seseorang mengakui kentutnya. Si pengentut sibuk mencari kambing hitam, padahal kambing hitam pun tak pernah menunjuk orang lain jika hewan itu ngentut.
Orang yang paling malu, paling nervous dengan kentut adalah orang yang merasa “suci”, sopan, selalu menjaga sopan santun (meski basa-basi). Orang-orang tipe ini jika kentut hanya diam, jika kentutnya berbunyi ia akan mencari alasan: ada konspirasi dengan makanan yang ditelan. Jika bisa, orang lain yang dijadikan pakecohan.
Jika memang Anda sedang kentut, maka akuilah dengan jantan. Sebab, entah diakui atau tidak, kenyataannya Anda tetap yang kentut. Kenapa harus malu dengan kentut, toh setiap manusia pernah kentut? Yang memalukan, jika kita sibuk mencari dalih “konspirasi” yang terkait sebab musab kita kentut. Ngentulah, selagi belum ada fatwa yang melabeli halal-haramnya. Yang terpenting, jangan mengentuti kepala atau muka orang lain. Sebab, baik ada fatwa atau tidak, perilaku itu sangat-sangat membuat Tuhan murka! []
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon