Membongkar Makna Mistis Dan Sains


sumber. adhvara.wordpress.com


Tulisan ini merupakan sebuah awal ketertarikan saya terhadap tulisan saudari Nur Annisa yang di tag di FB (Face Book). Saudari Annisa menulis mengenai ketertarikannya terhadap hal-hal yang mistik. Jika saya pahami yang dimaksud Annisa dengan mistik: sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal, atau akal itu menolak karena tidak sesuai dengan apa yang selama ini diterima. Dan saya memahami akal yang menolak hal-hal mistis karena akal bekerja sesuai alur logika, sebuah kesimpulan yang didapatkan dari premis-premis. Alat atau objek yang dipakai untuk menyimpulkan inilah yang nantinya dipakai untuk menerima sesuatu yang telah diamati. Selain itu, kebiasan atau sesuatu yang sudah ada di masyarakat juga menjadi bahan pertimbangan akal untuk menerima atau menolaknya.

Annisa memulai gerundelannya dengan membongkar endapan-endapan masa kecilnya yakni rasa yang ia kagumi sewaktu kecil. Keinginan untuk bertanya masalah mistik hanya menemuai jalan buntu setelah ditabrakkan dengan keyakinan agama. Mistik yang sangat ingin dimengerti harus berhenti bahkan mogok untuk dipertanyakan setelah agama menyuguhkan dengan kata-kata syirik. Doktrin syirik telah memandekkan imajinasinya sekaligus gregetnya untuk bertanya mengenai mistik yang selama ini ia pertanyakan. Saya yakin yang ingin dipertanyakan Annisa bukan pada definisi mistik maupun hukumnya, melainkan proses kejadian mistik tersebut. Sekali lagi saya sayangkan Annisa tidak memberikan contoh mistik yang ia kagumi sewaktu kecil.

Paragraf selanjutnya Annisa menuliskan apa yang ia maksudkan dengan hal-hal mistik tersebut. Annisa memberikan contoh mistik dengan peristiwa Isro’ Mi’roj’ Mi’roj nabi Muhammad SAW. Bagi kalangan muslim peristiwa tersebut adalah menyangkut hal keimanan. Artinya ia memang wajib dipercayai meskipun terdengar kurang masuk akal. Seperti sikap Abu Bakar yang langsung mempercayai dengan peristiwa tersebut tanpa harus mempertanyakan proses peristiwa tersebut. Abu Bakar memahi peristiwa tersebut langung pada ranah keyakinan, bukan telaah dengan premis-premis akal. Sebab pentashdiqkan beliau terhadap peristiwa tersebut maka abu bakar mendapat gelar ash-shidiq.

Menurut saya mempertanyakan peristiwa khususnya prosesnya sah-sah saja sepanjang pertanyaan tersebut bertujuan untuk menambah keyakinan kita dan menyelami ilmu Allah yang sangat luas ini, bukan bertujuan untuk mencari kesalahan-kesalahan yang berangkat dari sikap dengki. Sebab dengki merupakan penyakit yang tidak terobati. Jawaban apapun yang diberikan untuk pertanyaan yang berangkat dari sikap dengki tak kan menemukan titik temu, seperti kata penyair, “setiap permusuhan diharapkan kehilangan kecuali permusuhan orang yang memusuhimu karena hasad”. Kemungkinan besar sikap dengki inilah yang menjadi landasan orang-orang yang ingkar dan membenci Islam untuk membohongkan dengan peistiwa-pristiwa yang berkaitan dengan keillahian, termasuk Isro’ Mi’roj’ Mi’roj.

Peristiwa Isro’ Mi’roj’ Mi’roj merupakan peristiwa yang spektakuler sebuah peristwa perjalanan yang hanya ditempuh dengan waktu semalam dengan jarak yang sangat-sangat jauh. Jika kita memikirkan adalah hal yang mustahil, apalagi bagi orang yang hidup pada masa itu untuk meyakininya, tentu sulit. Saya kira yang perlu kita bahas tidak hanya sebatas dengan perjalanan tersebut tetapi prosesnya juga, seperti ,jika Nabi harus menempuh Sidratul Muntaha dengan pulang-pergi cukup dengan semalam tentunya Nabi berjalan dengan kecepatan diatas cahaya, apakah mungkin manusia mampu bertahan jika berjalan dengan kecepatan tesebut? Tentunya partikel atau elektron-elektron yang menyusun tubuh Rosulullah saw. akan kocar-kacir, tercerai berai dan belum lagi ditambah dengan gesekan-gesekan dengan sekiling Nabi saaw. selama perjalanan tersebut.

Dalam tulisan ini saya ingin nimbrung dan mencoba membahas masalah apa itu mistis, sains serta agama? Diranah apa mereka bekerja? Serta instrumen apa kita harus memahaminya? Saya kira memberikan definisi terhadap ketiganya sangat perlu, agar kita mempunyai batasan dalam membongkar keberadaannya, selain itu agar tidak ada over lapping, tumpang tindih, di antara ketiganya. Sehingga contoh yang diberikan Annissa bisa kita pahami, apakah Isro’ Mi’roj’ Mi’roj itu sesuatu yang mistis atau bukan? Apakah peristiwa tersebut bisa dipahami dengan ilmu sain? Apakah jika kita membongkar peristiwa tersbut masuk kedalam syirik?. Dengan mengetahui definisi, kriteria-kriteria perbuatan maupun pemikiran ke lubang syirik tersebut diharapkan kita bisa berhati-hati menjaga posisi kita berdiri dalam usaha memahami pokok permasalahan.

Mistik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mistik diartikan sebagai subsistem yang ada dalam hampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan ( Tim Penyusun PBB, 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Balai Pustaka hal.10130), selain itu juga diartikan sebagai hal-hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia biasa. pengartian kata mistik menurut KBBI ini setidaknya sama dengan makna tasawuf atau suluk yang ada dalam agama Islam, yakni sesuatu yang bisa menghantarkan seseorang untuk merasakan kehadiran Allah. “sesuatu” ini bukanlah lembaga atau tempat melainkan semacam latihan-latihan (riyadhah) yang harus dilakukan berulang dan ajeg.

Ilmu mistik yang dalam bahasa Inggris adalah “mysticism” dalam kamus Longman: Dictionary of Contemporary English diartikan sebagai “the attempt to gain, or to practice of gaining, a knowledge of real truth and union with god by prayer and meditation” (usaha untuk memperoleh, atau praktek untuk memperoleh kebenaran hakiki dan keadaan menyatu dengan Tuhan melalui doa dan meditasi (penyatuan batin/pikiran).

Ada hubungan linguistik antara tiga kata:”mitos”, “mistisisme”, dan “misteri”. Ketiganya berasal dari kata kerja bahasa yunani Musteion yang artinya menutup mata atau mulut. Oleh karena itu, ketiga kata tersebut berakar dalam pengalaman tentang kegelapan dan kesunyian. Kata-kata ini sudah tidak populer lagi di Barat zaman sekarang. Kata “mitos”, misalnya, sering dipakai sebagai sinonim untuk kebohongan: dalam pembicaraan sehari-hari, mitos berarti sesuatu yang tidak benar.. Seorang politisi atau bintang film akan mengabaikan tentang dirinya dengan mengatakan bahwa itu Cuma “mitos” dan para peneliti akan menyebut pandangan keliru masa lalu sebagai “mitikal”. Sejak zaman pencarah, “misteri” telah dianggap sebagai sesuatu yang perlu dijelaskan. Kata itu sering dikaitkan dengan persoalan yang mengusut pikiran. Di Amerika Serikat, sebuah kisah detiktif biasa disbut “misteri” dan pemecahan persoalan secara memuaskan menjadi esensi ragam kisah ini. Mistisisme sering dikaitkan dengan orang aneh, dukun atau kaum hippies yang bebas, bahkan selama masa jayanya di belahan bumi yang lain, tak banyak yang dipahami barat tentang pemikiran dan disiplin yang penting bagi spritulitas ini (Karen Amstrong. Sejarah Tuhan. 2006: 284).

Karya tentang mitologi yang disusun oleh pemikir eropa kontemporer, Joseph Champbell, mendapat sambutan luas. Antusiasme terhadap psikoanalisis terhadap sejenis mistisisme, karena ada kemiripan luar biasa antara kedua disiplin itu. Mitologi sering merupakan upaya untuk menjelaskan alam psikis, dan Freud maupun Jung tentang Oedipus, untuk menjelaskan ilmu baru yang mereka kembangkan. Mungkin orang-orang Barat di tengah merasakan kebutuhan akan alternatif bagi cara pandang ilmiah murni terhadap alam semesta.

Niels Mulder mengatakan mistik sama dengan ilmu kebatinan, yaitu cara ala Indonesia mendapatkan kebahagian ( Beberapa Etika dan Etiket Jawa, 1983). Niles Mulder sendiri adalah seorang peneliti aliran kebatinan yang berada di Jawa. Aliran yang diteliti erat hubungannya dengan dunia mistik. Memang agak sedikit ruwet untuk menjelaskan mistik dalam perspektifnya soalnya ada kemiripan yang dikaji lebih pada hal-hal yang berbau klenik, seperti ramalan lotre. Apakah ramalan merupakan sebagai sebuah cara untuk mencari kebahagian.

Mistik memang sesuatu yang sangat pribadi, sesuatu yang berhubungan dengan kerahasiaan. Ia menyentuh keyakinan dan religiusitas pribadi, sehingga sulit untuk diangkat kepermukaan, karena menyelidiki hal tersebut bisa dianggap tidak sopan.

Bagi orang Jawa sesuatu yang mistis, yang menyangkut dunia batin merupakn hal yang menarik. Sehingga tak ayal jika di Jawa banyak bermunculan aliran kebatinan, masalah jagad cilik jagad gede merupakan bahasa yang sering didengar dilingkungan Jawa. Mereka tenggelam pada esensi, bukan sebatas realitas. Segala sesuatu tidaklah seperti yang terlihat, tetapi memiliki hakikat tersembunyi. Wayang merupakan contoh kecil dan sering diperbincangkan dikalangan orang Jawa. Perbincangan ini bukan pada masalah alur cerita atau tentang keindahan petunjukan melainkan mengenai inti cerita serta simbol-simbol yang terdapat dalam wayang itu sendiri. Tidak hanya itu, kepercayaan terhadap hal-hal yang esoterik adalah hal yang paling disukai. Mengenai kekuatan terselubung maupun roh bahkan mengenai kekuasaan selalu dikaitkan dengan hal-hal di luar nalar, jatuh bangunnya kekuasaan raja/kepala negara selalu dikaitkan dengan masalah wahyu kerajaan.

Sebagian kalangan berpendapat lahirnya mistisisme diakibatkan karena adanya ketidakpuasan terhadap keadaan yang terjadi. Reaksi terhadap gencarnya modernitas serta dekade ikutannya. Menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo, keadaan yang tidak menentu bisa mengakibatkan “kesan tak normal yang berkepanjangan” (a persistent of dysfunction) dan “kesan keterserabutan kultural” (a sense of cultural deprivation). Ini menyebabkan bangkitnya gerakan-gerakan yang berlatar keagamaan. Antropolog Koentjaraningrat menafsirkan pratik mistisme terutama sebagai penarikan diri dari himpitan kesukaran hidup sehari-hari menuju sebuah dunia impian dan pengalaman batin suatu kerinduan pada masa silam. Agaknya Subagyo, sependapat dengan argumen itu, ia menambahkan bahwa “segala mistisisme berkembang sebagai tanda protes terhadap masa kini.” (1973: 126). Beberapa psikolog tertentu melihat keanggotaan kelompok-kelompok mistik utamanya sebagai suatu pencarian keseimbangan individual dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan untuk bersandar-suatu yang sangat populer-pada saat penuh ketegangan dan gejolak sosial. (Niels Mulder. Mistisisme Jawa. Hal 34-35).

Tujuan mistisisme adalah menjaga keselarasan dengan prinsip tertinggi eksistensi. Eksistensi tertinggi ini merupakan hyang suksma, sang maha jiwa (Allah). Hubungan Allah-manusia-alam merupakan hubungan hierarkis dan manusia menempati di tengah-tengah, terikat pada dunia fenomenal dan pada hakikatnya hidup tersembunyi.

Pada titik tertinggi perjalanan mistik, dunia menjadi tidak berarti, namun karena pencarian mistis membuahkan kekuasaan moral yang besar seorang mistikus tingkat tinggi akan tetap bersinar bagaikan mercusuar dunia, bagi moral dan material masyarakat. Oleh karena itu, praktik mistisisme dipandang sebagai upaya menempa hidup yang lurus di dunia ini dan mewujudkan keadaan yang didambakan.

Kata mistis ternyata lebih mengacu pada masalah keruhanian/batin yakni sesuatu yang menjadi jembatan yang menghubungkan antara diri manusia dengan wujud yang tertinggi. Mistis dalam Islam dapat dijumpai dalam praktek sufi, karena golongan inilah yang sering menggunakan “rasa” sebagai fakultas yang digunakan untuk berhubungan dengan yang Maha Tinggi demi tercapai kebahagian. Para sufi menggunakan dunia imaginatifnya untuk menangkap dan mengkonsepsikan dunia yang lebih tinggi di mana dunia yang lebih tinggi ini tidak bisa ditangkap oleh alat indera. Mohammad Iqbal menyebut dunia imaginatif ini dengan intuisi yakni pengalaman luar biasa yang bisa membuktikan realitas tertinggi dan eksistensi yang mutlak. Kaum mistik mengklaim bahwa intuisi adalah cara untuk memenuhi hasrat terdalam manusia atas pengetahuan yang sempurna atau absolut terhadap realitas. ( DR. Ishrat Hasan Enver. 2004. Metafisika Iqbal. Hal. 6)

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan mengenai mistis/mistik yakni merupakan usaha untuk memperoleh kebahagian tertinggi dengan cara menyatu dengan Tuhan atau yang dianggap sesuatu yang lebih tertinggi dan hanya biasanya pengalaman mistis merupakan pengalaman pribadi sehingga setiap orang bisa mengalami pengalaman yang berbeda antar satu orang dengan yang lainnya. Pengalaman yang subjektif ini tergantung sebarapa intens ia melatih ketajaman batin/rasa. Rasa/ batin atau intuisi meupakan alat yang digunakan dalam dunia batin untuk menyingkap dan merasakan kehadiran yang maha tinggi tersebut. Sehingga mistis tidak bisa disamakan dengan klenik/tahayul, khurafat. Klenik, tahayul, khurafat hanyalah cerita ngoyo woro sedangkan pengalaman mistis memang benar-benar ada hanya saja pengalaman ini tidak bisa dibuktikan secara empiris-matematis.

Sains

Menurut kamus Webster’s New Dictionary, kata science berasal dari kata latin, scire, yang artinya mengetahui. Secara bahasa, science berarti “keadaan atau fakta yang mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan dengan intuisi atau kepercayaan.’ Namun, kata ini kemudian mengalami perkembangan dan perubahan pemaknaan sehingga berarti “pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau prinsip dari apa yang dikaji. Dengan demikian, telah terjadi pergeseran makna sains dari pengetahuan menjadi pengetahuan yang sistematis berdasarkan observasi indriawi. Term ini kemudian mengarah pada pembatasan lingkup sains hanya pada dunia fisik.

Menurut para filosof, sains adalah suatu cara berpikir untuk memahami suatu gejala alam, suatu cara untuk menyelidiki gejala alam, dan sebagai batang tubuh keilmuan yang diperoleh dari suatu penyelidikan. Oleh karena itu sains dapat didefinisikan sebagai ilmu yang dirumuskan dalam keilmuan yang diperoleh dengan aturan main terstandar atau baku. Teller (1991) menyatakan bahwa tinjuan yang penting dari sains adalah suatu tentang alam dan pengertiannya dapat dipakai sebagai dasar munculnya dan keterpakaiannya di dalam kehidupan manusia.

Definisi selanjutnya adalah segala aktifitas manusia termasuk di dalamnya adalah kehidupan para pakar saintis itu sendiri, dan pakar sains harus tanggap terhadap kondisi ini. Kondisi pengembangan istilah sains ini sesuai dengan Maxwell (1990) yang menyatakan bahwa para pakar sains pada keikutsertaan pada kegiatan penyelidikan harus dipusatkan kepada kehidupan kemanusiaan dan permaslahannya. Pernyataan ini diperkuat oleh Martin dkk (1990) yang menyatakan bahwa titik penguatan sains semakin melebar meyebar ke berbagai bidang keilmuan yang lain ditinjau dalam arti yang luas. Yang perlu ditekankan bahwa sains mempunyai banyak penampilan dengan permintaan pada segi pembelajara sains agar memberikan sain yang autentik yang melingkupi dari sejarah sains, sains itu sendiri, teknologi, dan refleksi atau umpan balik tentang kealamiahan pengetahuan dari sains itu sendiri.

Dalam buku Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jujun S. Suriasumantri menuliskan bahwa ada kesalahan semantik yang melanda terminologi ilmu pengetahuan, diperkenalkan kata “sains” yang dalam beberapa hal telah secara sah dipergunakan. Sains ini adalah terminologi yang dipinjam dari bahasa Inggris yakni science. Saya kira, tulis Jujun, adopsi ini tidak perlu sebab pembentukan kata sifat dengan kata dasar sains ini adalah janggal dalam sturktur bahasa Indonesia. Sceintific, sekiranya sains adalah sinonim dengan science, adalah ke-sains-an atau saintifik (?). sceintis adalah sains-wab atau saintis (sic)!

Keberatan kedua adalah bahwa terminolgi science dalam bahasa asalnya penggunaannya sering dikaitkan dengan natural sains seperti teknik. Economic, sering dikonatasikan bukan science, namun social studies, termasuk ke dalamnya social science lainnya. Dengan demikian maka terminologi science sering dikaitkan dengan teknologi. Hal ini, meskipun tidak sengaja dan mungkin tidak disadari, menimbulkan jurang antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam. Sederhanya adalah bahwa ilmu-ilmu sosial bukanlah science; atau paling tidak, preferensi utama penggunaan kata science adalah untuk ilmu-ilmu alam.

Bisa saja kita mempergunakan ilmu pengetahuan untuk knowledge, sains untuk science, ilmiah atau keilmuan untuk scientific; namun di mana struktur dan logika bahasanya? Mungkin ada baiknya kita menyimak pendapat Wittgenstein mengenai hal ini: kebanyakan dari pernyataan yang terkandung dalam karya filsafat adalah tidak salah namun nonesensial. Konsekuensinya adalah bahwa kita tidak dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan semacam ini, meleinkan hanya mampu menunjukkan semua adalah nonesensial. Kebanyakan dari pernyataaan dan pertanyaan dalam filsafat ditimbulkan oleh kegagalan kita untuk memahami logika dari bahasa kita sendiri.

Dengan demikian, sains merupakan ilmu yang didapat dari serangkaian metode ilmiah. Seperti diketahui berpikir merupakan aktivitas mental yang menghasilkan pengetahuan. Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran. Dengan cara bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu sifat rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan. Dalam hal ini maka metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif dalam membangun tubuhnya.(Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan) hal.120

Cara kerja pikir yang ilmiah inilah yang membuat sains harus mematuhi beberapa aturan yang telah diatur (disepakati). Sistemnya beraturan, dari satu bagian ke bagian lain, tidak bisa melompat-lompat. Kerjanya mengikuti aturan logis. Sehingga lingkup obyeknya adalah fakta empiris yakni fakta yang dialami langsung oleh manusia dengan mempergunakan panca indera. Ruang lingkup kemampuan panca indera manusia dan peralatan yang dikembangkan sebagai pembantu panca indera tersebut membentuk.

Ada penekanan atau setidaknya pengutamaan terhadap panca indera sebagai alat atau sarana untuk memperoleh kebenaran yang sahih. Hal ini dikarenakan panca indera merupakan alat yang umum dan nyata keberdaannya (bisa diamati) hingga keraguaan untuk menampik hasil darinya dimungkinkan kecil (meski hal ini masih bisa diperdebatkan lagi).

Panca inderawi memiliki keterbatasannya sehingga nilai kebenaran satu individu dengan individu yang lainnya tentu sangat berbeda. Misal, orang yang naik pesawat terbang akan mengatakan bahwa lautan itu warnanya biru adanya, sedangkan seorang nelayan yang terapung-apung di atas kapalnya akan mengatakan tidak biru melainkan ada campuran lumpurnya, coklat bahkan banyak juga sampah-sampah yang tercecer. Dari sini inderawi memang memiliki keterbasan-keterbatasan dari banyak faktor.

Ciri khas ilmu alam yang membedakannya dengan art dan apa yang disebut ilmu budaya. Namun, kita akan membatasi diri pada pernyataan, bahwa alam kita mengerti sebagai segala sesuatu yang riel sejauh hal itu ditentukan dalam ruang dan waktu. Semua objek meupun proses yang ada atau terjadi dalam ruang, ada atau terjadi juga dalam waktu. Hal yang sebaliknya akan menjadi tidak benar; karena akan menjadi absurd untuk berusaha melokasasi perasaan dan emosi (yang tentunya bersifat temporal). Akan tetapi, semuanya itu dapat dihubungkan dengan individu tertentu (yakni orang yang memiliki perasaan dan emosi) dan hal ini berarti berhubungan dengan sesuatu yang bersifat keruangan. Selanjutnya, karena semua objek sejarah, budaya, dan linguistik itu bersifat spasio-temporal, objek tersebut merupakan bagian alam dan dengan demikian merupakan objek ilmu alam.

Dengan demikian, kita memiliki kualitas universal dan ciri khas yang mewanai ilmu alam yang mencegahnya untuk di subordinasikan, atau dikesampingkan, oleh salah satu arts maupun ilmu budaya.

Disamping sifatnya yang universal, kepastian ilmu alamlah yang menyebabkan, baik secara historis maupun dalam fakta aktual, menjadi dasar yang sangat fundamenal untuk berfilsafat. Hanya dalam analisis pengetahuan yang pasti, di sana ada harapan untuk mencapai insight yang benar. Hanya di sini, ada prospek untuk mencapai hasil yang pasti dan final dengan menggunakan penjernihan konsep. Proposisi yang sama dan tidak pasti, pertama harus diubah bentuknya menjadi pengetahuan yang pasti- yaitu proposisi tersebut harus diterjemahkan, ke dalam bahasa ilmu pasti-sebelum maknanya dapat ditafsirkan secara penuh. Dan pengetahuan yang pasti adalah pengetahuan yang dapat diungkapkan secara penuh dan jelas sesuai aturan logika. “matematika” hanya merupakan nama bagi metode perumusan yang pasti secara logis. Oleh karena itu, Kant menyatakan bahwa ilmu hanya mengandung ilmu pengetahuan sejauh ilmu tersebut mengandung matematika. Dalam ilmu, lebih dari sekedar ranah yang lain, bahan atau substansi pengetahuan diturunkan dari aktivitas intelektual yang memungkinkan kita untuk mencapai tingkatan abstraksi yang terbesar. Namun, semakin tinggi tingkatan abstraksi yang dicapai ilmu, semakin dalam ilmu tersebut menembus hakikat realitas.

Abstraksi memang perlu bagi pemahaman manusia, dan telah membuka pemahaman manusia atas proses-proses ilmiah secara menakjubkan. Namun harus diingat bahwa itu hanyalah abstraksi dan kita harus bisa membedakan, untuk mendapatkan kebenaran, dan memisahkan secara persis elemen-elemen khusus dalam pengalaman , dan menemukan relasi-relasi umum di antara elemen-elemen itu.. A. N. Whitehead menunjukkan, bahwa (abstraksi) dapat menggelincirkan dalam hal fallacy of misplaced consretnes. Maksudnya,seorang dapat begitu terkesan dengan keanggunan matematis dan kemampuan prediksi konstruksinya sehingga ia memandang bahwa hal itu sebagai realita yang sesungguhnya, sementara gejala-gejala pengalaman yang darinya konstruksi tersebut dibangun dan dipandang sebagai sekedar ilusi subjektif. Ini ironi terbesar sains modern, yang bermula dari upaya untuk menjelaskan dan memahami dunia konkret yang kaya dan partikular seperti yang dialami manusia, namun berakhir dengan melihat dunia fenomenal itu sebagai ilusi. Realitas-sebenarnya lalu menjadi dunia entitas-entitas abstrak, seperti medan vektor hamilton dalam ruang fase multidemensional yang sangat sulit kita bayangkan, apalagi kita alami. Kekeliruan yang terjadi adalah memandang apa yang abstrak sebagai yang konkret, melihat konstruksi kita sebagai satu-satunya realitas, dan melihat realitas yang dialami sebagai hasil dan persepsi yang keliru.

Kekeliruan ini mirip dengan argumentasi ketika kita berbicara tentang Tuhan. Karena lewat dengan bahasa berbicara tentang Tuhan, dan bahasa merupakan konstruksi manusia, maka Tuhan direkonstruksi manusia. Sebab, bagaimanapun juga, entah bahasa atau matematika (yakni konstruksi manusiawi), dan apa yang dirujuk manusia olehnya (Tuhan, manusia) adalah dua hal yang berbeda.

Apabila dapat ditolak klaim bahwa ranah metematika merupakan satu-satunya sarana yang sungguh-sungguh riil, dapat dilihat bahwa pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan tentang unsur-unsur relasional dasar dari struktur fisik semesta unsur-unsur yang berhubungan secara konstan dan dapat dikuantifikasikan. Yang kemudian muncul adalah gambaran semesta yang sangat umum dan abstrak. Dan ini bukan, atau tidak dapat, diklaim sebagai pemerian komplit, dalam arti mencangkup seluruh unsur yang ada, atau bahwa gambaran ini memerikan semesta yang sungguh riil, sementara lainnya hanyalah ilusi. Abstraksi merupakan kemampuan menakjubkan dari pikiran manusia, yang telah melahirkan bahasa dan sains modern. Namun, hal ini perlu diseimbangkan dengan perhatian pada partikularitas dan kekonkretan yang didorong oleh seni dan, yang paling baik, oleh agama. Jika tidak, abstraksi dapat menjadi penghalang dalam pecarian kebenaran utuh segala hal, dan dalam arti itu membatasi pikiran manusia.

Keterbatasan manusia yang paling penting adalah bahwa intelek bekerja secara diskursif. Maksudnya, intelek tidak dapat menangkap hal-hal dalam satu pengalaman yang melingkupi segalanya. Intelek harus mempertimbangkan satu demi satu, membuat kaitan dengan menarik kesimpulan dan ekstrapolasi, serta bergerak secara teratur dari satu unsur ke unsur lainnya. Suatu intelek yang komprehesif, seperti milik Tuhan, mampu memahami segala hal dalam satu tindakan intutif, nondiskursif. Tuhan tidak perlu manarik kesimpulan atau membuat ekstrapolasi, karena Dia mengetahui segalanya dalam hal partikularitas penuhnya melalui pemahaman langsung. Pengetahuan seperti itu tidak mungkin bagi manusia. Jadi, inilah aspek lain ketika manusia tidak akan pernah mampu memahami segalanya secara utuh, dalam seluruh kepenuhannya, seperti yang sesungguhnya.

Ilmu-ilmu alam atau dunia sains berkembang seperti yang terlihat seperti sekarang ini, yang dimensinya tak hanya menyentuh sosial kemasyarakatan melainkan juga merambah ke ranah teologi, memiliki beberapa aturan main yang harus ditaati. B. Suprapto menyebutkan aturan tersebut antara lain harus diamati secarang berulang. Pengamatan ini tentunya bukan saja dinikmati oleh satu orang saja tetapi orang lain juga bisa mengulang pengamatan tersebut (reproducible). Jadi seorang ingin menyatakan bahwa ia mendapatkan suatu gejala alam baru yang belum terdaftar dalam perbendaharaan ilmu-ilmu alam maka ia perlu memberitahukan informasi tentang lingkungan, peralatan serta cara pengamatan yang digunakan, sehingga memungkinkan orang lain mengamati kembali jika keadaan mengizinkan. Jadi suatu gejala alam baru akan terdafatar dalam perbendaharaan ilmu-ilmu alam setelah melalui ujian berulang kali sehingga tidak perlu diragukan lagi kebenarannya.

Gejala alam yang teramati bukanlah berdiri sendiri melainkan saling berkaitan dalam pola sebab akibat yang dapat dipahami secara seksama. Ini menjadi tugas teori dalam ilmu-ilmu alam. Jika diteliti, sekelompok gejala dapat dirangkum dalam suau wadah yang meletakkan msing-masing gejala itu pada jalur-jalur yang berkaian menurut penalaran yang serasi dari aturan sebab akibat yang akan dinamakan hukum alam. Teori yang disusun tadi harus memiliki persyaratan: harus bertumpu pada gejala alam yang “syah”, jika digarap terus menerus teori tersebut tetap bebas konflik penalaran. Untuk memudahkan diadakannya ujian konsistensi yang cermat (kualitatif dan kuantitatif) banyak teori ilmu-ilmu alam terpaksa dilukukiskan dengan bahasa “matematika”.

Sains, tulis M. Iqbal dalam bukunya Rekonstruksi Agama dalam Islam, merupakan suatu ilmu empiris, mempersoalkan fakta-fakta pengalaman, yakni pengalaman inderawi. Ahli-ahli ilmu tersebut dari awal hingga akhir hanya membahas fenomena penginderaan, yang mau tak mau harus mereka pakai untuk menjadi teori-teori mereka. Seorang ahli alam mungkin mempostulasikan benda-benda yang tak bisa dipersepsikan, misalnya elektron; tetapi ia berbuat demikian karena ia tak dapat secara lain menerangkan pengalama-pengalaman inderawinya.

Apa yang dianggap sikap objektif dalam ilmu alam atau sains sebenarnya tidak ada. Memang benar apa yang diamati memang objektif, artinya benda itu memang begitu adanya, tetapi ketika benda tersebut dijelaskan maka benda yang “apa adanya” tadi telah melalui serangkain proses penelaian atau interpretasi penterjemah yang tentunya penterjemah sendiri merupakan makhluk yang memiliki pengalaman dan persepsi sehingga keadaan objek yang diterjemahkan tergantung pengalaman serta sejauh mana keluasan ilmu yang digunakan untuk mempersepsikan.

“objek-objek penginderaan (warna, suara, dan sebagainya) adalah hal-hal yang terdapat dalam kesadaran subjek yang mempersepsikan, dan dengan demikian terlepas dari alam yang dipandang sebagai sesuatu yang objektif. Atas dasar ini objek-objek tersebut tak dapat dianggap, dalam arti yang sebenarnya, sebagai kualitas-kualitas dari benda-benda fisik.

Mulyadi Kartanegara menuliskan dalam bukunya, Pengantar Epistemolgi Islam, bahwa dalam epistemologi Islam ada kecakapan-kecakapan mental yang cukup efektif dalam membantu fungsi esensial akal. Yang pertama, “indra bersama”(al-hiss al-musyitarak). Indra batin inilah yang menyebabkan sebuah objek indrawi muncul sebagai sebuah satu kesatuan yang utuh dari segala dimensinya dan tidak lagi data parsial yang biasa disumbangkan oleh tiap indra lahir.

Kedua adalah daya “khayal” atau “daya imajinasi retentif”. Daya ini mirip dengan daya perekam atau pengingat yang menyimpan dari hasil pengamatan panca indera seperti kita melihat wajah teman kita setelah tidak melihatnya ternyata kita masih bisa menciptakan sketsa-sketsa wajahnya dalam benak kita.

Ketiga adalah “daya estimasi” (wahm). Panca indra lahir kita bisa menangkap dimensi-dimensi benda dengan cukup rumit, tetapi mereka tidak bisa menangkap “maksud” yang tersembunyi dari sebuah benda. Fungsi itu hanya bisa dilaksanakan oleh daya estimasi. Tujuan dari daya ini adalah memperhitungkan nilai guna atau sebarapa besar bahaya “sesuatu” yang berada di hadapannya. Daya ini merupakan daya untuk survival, bertahan.

Keempat adalah indra imajinasi (mutakhayyilah atau composite imaginatif faculty). Sebagaimana indra bersama (al-hiss al-musytarak) mampu menangkap sebah objek secara utuh, demikian juga imajinasi dapat menangkap objek/ bentuk secara komprehensif. Keunggulan imajinasi dibandingkan indra penglihatan dapat dilihat melalui perbandingan ini. Sementara mata kita hanya bisa melihat satu bentuk dalam sebuah benda, imajnasi tidak hanya bisa mengabstraksikan bentuk-bentuk itu dari bendanya, tetapi juga dapat menggabungkan menurut selera yang dikehendaki. Kita, misalnya membayangkan tentang gugusan bintang dan membayangkan jika gugusan bintang yang membentang dari selatan ke utara merupakan rasi Bima Sakti (untuk daerah Indonesia) sedangkan orang-orang Eropa menyebutnya bagai milky way atau jalan susu karena ada kepercayaan bahwa gugusan bintang itu merupakan susu para dewa yang tercecer. Atau bayangan kita tentang kendaraan “kuda terbang”, selama ini tak pernah ada yang melihat kuda terbang hanya imajinasi yang coba mengkonsepsikan dalam pikiran.

Kelima adalah “memori” (al-hafizah). Fungsi indera ini adalah melestarikan bentuk-bentuk imajiner, sebagaimana kita membutuhkan khayal untuk merekam bentuk-bentuk fisik yang ditangkap oeh indra bersama. Memori inilah yang menyebabkan kita bisa mengingat tidak saja bentuk-bentuk fisik, tetapi juga bentuk-bentuk abstrak.

Demikianlah sekedar informasi mengenai sains atau ilmu kealaman yang mempunyai ciri khusus serta cara kerja ilmu tersebut untuk memperoleh kebenaran atu cara kerjanya dalam memahami dunia atau jagad raya ini beserta pernak-perniknya. Sekarang mari kita lanjutkan pembicaraan kita mengenai agama.

Agama

Istilah agama mungkin bagi kita merupakan bukan hal yang asing lagi. Apalagi bagi kita yang hidup di negara yang menganut prinsip “ketuhanan yang Maha Esa” tentunya masalah agama bukanlah barang baru. Jika kita membicarakan masalah agama setidaknya bayangan pikiran akan segera menuju kepada hal-hal yang bersifat ketuhanan. Maksud saya mengenai masalah ketuhanan adalah hal-hal yang berisi mengenai seperangkat aturan khidupan yang berakhir pada Tuhan, Sang Pencipta. Aturan kehidupan ini saya maksudkan bukan hanya masalah ritual yang mengacu pada masalah ibadah dalam arti yang sempit, atau sebatas simbol-simbol keagaamaan melainkan sebuah sistem yang berisi aturan yang mengatur segala tingkah manusia dalam berhubungan dengan sesama, alam sekitar, makhluk selain dirinya atau dengan Tuhan yang kita yakini. Inilah agama yang saya maksudkan, yakni sebuah sistem budi/ akhlak yang memang mempunyai tujuan bagaimana manusia bersikap. Sehingga agama bukanlah sesuatu yang hanya ada di tempat ibadah saja melainkan meliputi segala sendi/proses kehidupan ini.

Memang ada perbedaan secar terminologi mengenai apa itu agama, religi, teologi bahkan ad-diin yang sering diterjemahkan sebagai agama. Keempat kata atau istilah itu mempunyai makna tersendiri dan memang tidak bisa kita pukul rata artinya, keempatnya bukanlah sinonim bagi satu sama lain. Tetapi dalam tulisan ini saya tidak akan membahas lebih jauh.

Religi berasal dari kata religio yang mempunyai arti ikatan relasi-relasi sosial antar individu. Menurut Durkheim (1961) agama didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek yang berkaitan dengan yang sakral, yang menciptakan ikatan sosial antar individu. Durkheim mengatakan bahwa agama hanya bisa dipahami dengan melihat peran sosial yang dimainkannya dalam menyatukan komunitas masyarakat di bawah kesatuan ritual dan kepercayaan umum. Maka agama, dari sekelumit penjelasan ini, didefinisikan dengan sebagai sesuatu yang membagi dunia menjadi yang sakral dan yang profan; konsekuensi sosial praktek-praktek yang diarahkan ke ranah yang sakral adalah penciptaan dan reproduksi kesadaran kolektif (consciense collective), sebuah kesatuan sosial yang mengikat seluruh angotanya ke dalam unit-unit yang homogen. ( Bryan B. Jurrner. 2006: 20)

Karen Amstrong menambahkan bahwa manusia adalah makhluk spiritual. Ada alasan kuat bahwa Homo sapiens juga merupakan Homo religius. Manusia mulai menyembah dewa-dewa segera setelah mereka menyadari diri sebagai manusia; mereka menciptakan agama-agama pada saat yang sama menciptakan karya-karya seni. Ini bukan hanya karena mereka ingin menaklukan alam; keimanan awal ini mengeksprisikan ketakjuban dan misteri yang senantiasa merupakan unsur terpenting pengalaman manusia tentang dunia yang menggetarkan; namun indah ini. Sebagaimana seni; agama merupakan usaha manusia untuk menemukan makna dan kehidupan, di tengah derita yang menimpa wujud kasatnya. (Karen Armstrong 2006: 20)

Dari sudut doktrin, agama dapat didefinisikan sebagai sistem kebenaran-kebenaran umum yang memiliki kekuatan untuk membentuk karakter, asalkan kebenaran-kebenaran itu dianut secara tulus dan sungguh-sungguh dihayati. Agama ialah apa yang dilakukan oleh manusia dengan kesendiriannya (solitariness). Dalam proses menuju puncak kesempurnaannya, agama berkembang melalui tiga tahap. Agama adalah transisi dari “Tuhan Sang Suwung” menjadi “Tuhan Sang Musuh” dan dari “Tuhan Sang Musuh’ menjadi “Tuhan Sang Sahabat”. Jadi, agama adalah kesendirian. Orang yang tidak pernah sendiri sesungguhnya tak pernah religius. Antusiesme kolektif, lembaga-lembaga agama, tempat-tempat ibadah, upacara-upacara, kitab-kitab suci, aturan tingkah laku adalah ornamen-ornamen agama, bentuk-bentuk yang dapat berubah-ubah. Hal-hal itu mungkin saja bermanfaat atau merugikan, mungkin saja ditetapkan melalui otoritas agama atau sekedar tambal sulam sementara. Namun, tujuan jauh melampui itu semua. (A. N. Whitehead. 2009: 4-5).

Kata-kata Ad-Diin yang termaktub dalam Al Quran sering diartikan sebagai agama. Seperti dalam surat yusuf ayat 40..Dzalika ad-diinul qoyyimu walkinna akstara an-nasi laa ya’lamuun. Quraish Shihab manafsirkan sebagai itulah agama yang lurus mengandung makna terlaksananya sesuatu tujuan dengan sempurna, sesuai dengan fungsi yang diharapkan darinya. Agama bertujuan mengantar manusia meraih kehidupan bahagia dalam kedudukannya sebagai pribadi demi pribadi dan atau anggota masyarakat, di dunia dan akherat. (Quraish Shihab 2002:410).

Quraish Shihab juga menafsirkan kata ad-din dalam surat al-Imran ayat 19, sebuah ayat yang menegaskan bahwa hanya dinul islam sebagai din yang diridhoi Allah. Bahwa din mempunyai banyak arti antara lain ketundukan, ketaatan, perhitungan, balasan. Juga sebagai agama, karena dengan agama seseorang bersikap tunduk dan taat, serta akan diperhitungkan seluruh amalnya, yang atas dasar itu ia memperoleh ganjaran.

Bagi kita mungkin kata din yang diartikan sebagai ketundukan tidak akan menimbulkan polemik dalam alam pikiran. Tetapi coba kita tengok arti din ini jika kita sandingkan dengan kata Islam, yang berasal dari kata salama, yusalimu, islaaman, yang berarti pasrah atau tunduk bagaimana kita memahami dengan hal ini: apakah kata dalam Al Quran tersebut tidak rancau? Artinya mengulang kata-kata yang mempunyai makna sama tetapi dengan kata yang berbeda.

Penulis kutipkan dari tafsir Quraish Shihab untuk menjelaskan perkara ini. Agama, atau ketaatan kepada-Nya, ditandai oleh penyerahan diri secara mutlak kepada Allah swt. Islam dalam arti penyerahan diri adalah hakikat yang ditetapkan Allah dan diajarkan oleh para nabi sejak nabi Adam as. Hingga Nabi Muhammad saw.

Ayat ini menurut Ibnu Katsir mengandung pesan dari Allah, bahwa tiada agama di sisi Allah, dan yang diterimaNya dari seseorang pun kecuali Islam, yaitu yang mengikuti rasul-rasulNya setiap saat hingga berakhir dengan Nabi Muhammad saw. Dengan kehadiran beliau, telah tertutup semua jalan menuju Allah kecuali jalan dari arah beliau, sehingga siapa yang menemui Allah setelah diutusnya Muhammad saw.

Nurcholis Madjid menambahkan bahwa aslama yang termaktub dalam surat Al-Imron ayat 83-85 yang merupakan kata kerja untuk perkataan Islam. Dan perkataan islam adalah mashdar atau verbal noun dari kata kerja aslama seperti halnya perkataan Arab iman adalah mashdar dari kata kerja aamana. Maka kalau perkataan aamana dapat diterjemahkan manjadi “beriman” (yakni, menempuh hidup percaya), perkataan aslama juga dapat diterjemahkan dengan “berislam” (yakni, menempuh hidup pasrah dan tunduk kepada Tuhan).

Karena pengertian-pengertian dasar itu, maka “islam” dalam makna aslinya sebagai hukum ketundukan makhluk kepada khaliknya (tidak dalam artian nama agama yang dibawa oleh nabi Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul bukanlah terbatas kepada suatu zaman atau suatu kawasan, melainka berlaku untuk seluruh zaman lampau, sekarang dan nanti, disemua kawasan, melainkan berlaku untuk seluruh zaman lampau, sekarang dan nanti, disemua kawasan tanpa kecuali, sbagaimana hukum Allah untuk alam raya berlaku untuk seluruh alam semesta.

Asy-ya’rawi mengatakan: Islam adalah agama para nabi. Istilah muslimin digunakan juga untuk umat-umat para nabi terdahulu, karena itu Islam tidak tarbatas hanya pada risalah Nabi Muhammad saja. Tetapi Islam adalah ketundukan makhluk kepada Tuhan yang Maha Esa dalam ajaran yang dibawa oleh para rasul, yang didukung oleh mukjizat dan bukti-bukti yang meyakinkan. Hanya saja kata Islam untuk ajaran para nabi yang lalu merupakan sifat, sedangkan umat Nabi Muhammad memiliki keistimewaan dari sisi kesinambungan sifat itu bagi umat Nabi Muhammad, sekaligus sebagai tanda dan nama baginya. Ini karena Allah tidak lagi menurunkan agama sesudah datangnya Nabi Muhammad.

Setiap nabi adalah sumber bimbingan dan model manusia sempurna. Mereka yang mengikuti jejak beberapa Nabi mungkin memperoleh “pusaka” (wiratsah) dari Nabi tersebut, dan pusaka ini memilki tiga dimens dasar: (1) karya-karya (works), atau perilaku sebagai manifestasi akhlak mulia; (2) keadaan (states) atau pengalaman-pengalaman batin dari realitas ghoib; dan (3) pengetahuan (knowledge) atau persepsi dan pemahaman langsung tentang berbagai modalitas terhadap realitas.

Ibnu ‘Arabi memandang tujuan agama adalah untuk mencapai kesempurnaan dalam tiga modalitas tersebut sekaligus: karya, keadaan-keadaan ruhani dan pengetahuan.

Selanjutnya,bagaimana munculnya agama apakah ia buatan manusia atau memang ia sudah ditentukan oleh Allah? Artinya Allah telah sengaja mengutus para rasul yang kebanyakan dibuntuti dengan agama tertentu untuk mengobati kegaluan manusia, atau dengan kata lain sebagai obat kerinduan manusia terhadap “sesuatu” yang mutlak dan yang kuasa sebagaimana manusia disebut sebagai homo religius tadi. Dalam bahasa Al Quran dikatakan bahwa manusia sejak awalnya/zaman azali telah mempercayai bahwa telah ada Tuhan (Qolluu balaa syahidna).

Whitehead dalam bukunya Religion In The Making: Lowell Lectures menuliskan; dilihat dari ekspresinya dalam sejarah, agama menampilkan empat faktor atau empat aspek. Faktor-faktor ini ialah ritual, kesaksian iman (belief), dan pertanggungjawaban rasional. Ritual adalah prosedur perilaku yang tetap dan teratur; ada cara baku mengekspresikan emosi; ada kesaksian-kesaksian iman yang diekspresikan dengan cara tertentu; sehingga keyakinan-keyakinan itu tersusun ke dalam suatu sistem yang memiliki koherensi internal dan koheren dengan keyakinan-keyakinan lain.

Ritual merupakan akibat primitif dari berlebihnya energi dan waktu luang. Ritual juga memperlihatkan kecenderungan badan makhluk hidup untuk mengulang-ngulang gerak geriknya sendiri. Pengulangan ini menimbulkan kegairahan ketika melakukan fungsi serta emosi sewaktu mencapai keberhasilan. Dengan cara begini, emosi merupakan gejala ikutan dari ritual; kemudian ritual diulang-ulang dan dikembangkan demi gejala emosional yang menyertainya. Secara tak sengaja, emosi membuat oraganisme manusia memiliki beraneka jenis kepekaan yang berbeda dengan kepekaan yang muncul dari usaha memenuhi tuntutan kebutuhan.

Dalam perspektif ini, jelas bahwa ritual merupakan asal-usul agama dan permainan. Ritual merangsang emosi; dan ritual yang menjadi kebiasaan berkembang menjadi agama dan permainan, tergantung kualitas emosi yang ditimbulkan. Di Yunani pada abad ke-5 sebelum masehi, olimpiade mengandung muatan religius dan festival yang diperuntukkan bagi Dionysius di Attica berakhir dengan drama komedi.

Dalam fase “primitif” ketika agama didominasi oleh ritual dan emosi ini, kita berhadapan dengan gejala yang secara hakiki merupakan gejala sosial. Ritual akan kian dan perasaan kian mendalam manakala seluruh masyarakat terlibat dalam ritual dan emosi sama. Itulah sebabnya, ritual kolektif menjadi salah satu daya pemersatu sosial bagi masyarakat primitif. Ritual dan emosi kolektif merupakan reman-remang fajar bagi kehidupan rohani yang melepaskan diri dari konsentrasi untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup. Demikian pula sebaliknya, agama yang mengalami kemerosotan akan mundur kembali menjadi sekedar fenoena sosial. (A. N. Whitehead: 1926: 6-9)

Apa yang ditulis Whitehead mengenai kemunculan agama memberikan pengetahuan kepada kita bahwa kemunculan agama seolah-olah ekspresi emosi yang teroganisir. Emosi ini lahir dikarenakan adanya rasa gelisah atau gejala tekanan batin yag menyiksa yang diakibatkan karena merasa adanya kekuatan yang lebih besar diluar kemampuan manusia, yang mana kekuatan itu tidak bisa ditaklukkan. Sehingga karena merasa sebagai diri yang lemah, manusia perlu membuat kegiatan yang selayaknya bisa membuat “adi kuat” itu tidak mengganggu. Dari perasaan inilah muncula pemujaan terhadap benda keramat atau pribadi-pribadi tertentu atau makhluk-makhluk imajiner yang sengaja diciptakan dari kalangan manusia sendiri.

Studi agama memilki dimensi materialistik, begitu kata kaum materialis, karena kejasmanian kitalah yang justru telah membentuk pengalaman kita tentang eksistensi yang penuh parodi ini. Dalam sistem religius, tubuh adalah penyampai kamahasucian ilahi sekaligus juga simbol dari kejahatan, sabagai “daging”; tubuh adalah tempat jiwa belajar dan sekaligus merupakan penghalang keselamatan; kesehatan jasmani kita dan keselamatan kita terkait; namun jasmani yang sakit bisa juga manjadi petanda cobaan religius atau malah bukti laknat yang menimpa. Dari berbagai riwayat kita diberitahu bahwa Jesus dan Muhammad adalah manusia-manusia yang tidak sempurna secara fisik (Vermes, 1973) dan mengidap ayan (Radinson, 1961).

Tafsiran kaum materialis terhadap agama cenderung diboncengi paham reduksionisme, tafsiran ini beranggapan agama dapat “dijelaskan” dengan cara membuktikan bahwa sebenarnya dia hanyalah refleksi dari proses sosial yang lebih mendasar atau hanya ekspresi dari proses sosial yang lebih mendasar atau hanya ekspresi kepentingan ekonomi maupun rasionalisasi dari kebutuhan-kebutuhan psikologis. (Bryan b. Jurner: 1991: 11).

Bagaimana padangan Islam tentang asal mula mengenai kelahiran agama? Menilik dari akar kata agama (ad-diin) yang mempunyai arti ketundukan atau kepasrahan, maka kelahiran agama ada merupakan jawaban untuk membawa manusia ke arah ketundukan tersebut. Ketundukan disini tidak berarti sikap yang terkengkang karena rasa takut, sebagaimana rasa takut seseorang saat menghadapi sesuatu yang seram, misal hantu atau marahnya para militer. Sebagaimana difirmankan Allah bahwa Islam adalah kabar gembira bagi seluruh alam, tidak hanya manusia saja. Selain itu, ia juga sebagai ancaman atau peringatan.

Sang Maha Pencipta adalah pola wujud (mode of existence) seluruh alam semesta. Dalam bahasa yang tegas, seluruh jagad raya adalah suatu wujud atau eksistensi ketundukan atau kepasrahan kepada Tuhan, baik yang terjadi secara denagn sendirinya mampu karena pilihan sadar secara sukarela. Alam/ kebendaan tergolong tunduk secara sukarela karena tidak memiliki daya pilih. Sedangkan manusia yang memiliki daya pilih dan mempunyai daya ngeyel maka harus dipilihkan untuk bersikap tunduk tersebut. Maka untuk menuntun manusia agar jangan sampai ‘salah pilih” sehingga menempuh sikap tunduk dan pasrah maka diutus rasul dan nabi. Semua rasul dan nabi membawa misi yang sama yakni menyeru kapada umatnya agar tunduk dan pasrah. Dengan mengikuti jalan para nabi manusia mendapat jalan untuk bersikap pasrah layaknya semesta yang sudah tnduk pada yang Maha Esa. Tujuan dari sikap adalah memperoleh jalan keselamatan yang tidak terbatas hanya dalam pengalaman hidup sementara ini melainkan juga di akhirat kelak.(Nurcholis Madjid. 2006: x-xi)

Agama selain lahir karena adanya sikap wajib pasrah pada Sang Pencipta, juga berfungsi sebagai obat kegaluan hati. Kegalaun hati ini bersumber dari sikap manusia yang mengesampingkan hal-hal yang transenden, Tuhan. Seperti yang diungkap oleh Schumacer: manusia telah menutup gerbang-gerbang surga bagi dirinya sendiri dan mencoba dengan daya kerja dan kecerdikan yang besar sekali, membutakan dan mengurung diri mereka di bumi yang sempit, kesimpulan dari perkataan Schumacer adalah manusia mencoba hidup tanpa tuhan dan agama.

Bila ridla Tuhan tidak lagi menjadi pusat orientasi manusia, kualitas kehiduan lalu menjadi rendah. Dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhirnya, manusia akan terbebaskan dari derita kehampaan spiritual, karena Tuhan adalah pesona yang Maha Hadir dan Yang Mutlak. Keyakinan dan perasaan akan kemaha-hadiran Tuhan inilah yang akan memberikan kekuatan, sehingga yang bersangkutan selalu dalam orbit Tuhan, ia selalu berada titik ke ordianat ilahi, yang tak mungkin salah arah dan tejerumus ke ordinat yang membuat hati ini kacau balau, bukankah Tuhan sendiri telah berfirman : alaa bi dzikrillah tathmainnul qulub.

Isro’ Mi’roj’Mi’roj

Sekarang saya akan mencoba membahas mengenai Isro’ Mi’roj’ Mi’roj. Seperti yang telah disampaikan Annisa, Isro’ Mi’roj’ olehnya telah dimasukkan sebagai contoh dari hal-hal mistik. Untuk membahas mengenai Isro’ Mi’roj’ saya akan mengulas dari dua segi yakni dari segi agama dan sains. Alasannya: dari sisi agama, memang Isro’ Mi’roj’ masuk dalam wilayah agama artinya kejadian Isro’ Mi’roj’ kebanyakan dari umat islam memandang Isro’ Mi’roj’ bagaian dari agama sehingga Isro’ Mi’roj’ dari kebanyakan umat, khususnya umat islam di Indonesia, diperingati pada bulan-bulan tertentu. Sehingga Isro’ Mi’roj’ telah bergeser menjadi bentuk budaya. Pergeseran ini tidak merusak esensi Isro’ Mi’roj’ karena esensi Isro’ Mi’roj’ tetap abadi, sedangkan olah kreavitas umat hanyalah bertujuan mengingatkan dan menambah semarak syiar Islam.

Dari sisi sains: merupakan usaha apakah hal-hal yang di luar nalar bisa didekati dengan sains, apalagi mukjizat yang kejadiannya sungguh luar biasa dan tentunya peistiwa itu tidak bisa diulang oleh orang lain. Masih ingatkan salah satu syarat sah jika kegiatan bisa dimasukkan kedalam sains, yakni jika kegiatan itu bisa diulang oleh orang lain. Pendekatan di sini hanyalah melacak kegiatan tersebut dengan teori-teori sains yang telah maupun sedang berkembang, artinya hanya menelaah dengan ilmu-ilmu sains, bukan mengulang peristiwa tersebut.

Pendekatan agama, penulis akan menggunakan instrumen khususnya Al Quran. Dalam Al Quran Isro’ Mi’roj’ diabadikan dalam surat al-Isro’ Mi’roj’ ayat pertama dan tidak menutup kemungkinan akan ditelah dengan surat yang lainnya, karena surat dalam al-quran saling berkaitan dan tidak seperti buku yang pembahasannya per bab. Kalau kita membaca Al Quran akan dijumpai pengulangan kata yang sebelumnya telah ada di surat tertentu akan muncul kembali pada ayat lain. Sedangkan tafsir akan penulis gunakan tafsir al misbah karangan Quraish Shihab. Alasannya: menurut penulis tafsir Al Misbah pembahasannya lebih luas, dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu dibanding dengan tafsir temporer yang cenderung hanya membahasnya dari sisi agama saja.

Untuk pendekatan sains, penulis akan menganalis dari disiplin fisika. Ilmu fisika, bagi penulis, cukup layak untuk menganalisis peristiwa tersebut karena ilmu fisika meliputi pembahasan mulai dari elektron hingga gerak maupun loncatan-loncatan peristiwa. Selain itu, ilmu fisika lebih banyak bersentuhan dengan wilayah teologis-kosmologis sehingga tak ayal ilmu ini banyak mengandung filsafat dan dampak ilmu ini tak hanya sebatas materiil melainkan berdampak spirituil, tauhid. Ingat dengan bukunya Hawking yang berjudul Grand Desaig, yang berisi bahwa dunia ini tak diciptakan oleh Tuhan, ia ada dengan sendirinya. Pernyataan Hawking banyak menemui kecaman dari kalangan agamawan. Itulah pernak-pernik fisika yang menurut penulis sangat menarik sekali karena luasnya garapannya.

**********

Dalam sura Al-Isro’ Mi’roj’ peristiwa Isro’ Mi’roj’ diabadikan dalam ayat pertama. Penulis kutipkan artinya ayat pertama: “ Maha suci yang telah mengIsro’ Mi’roj’kan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho yang telah kami berkahi sekitarnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagain ayat-ayat Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Kata Subhaana, kata pembuka dari ayat pertama ini, terambil dari kata sabaaha yang pada mulanya berarti menjauh. Seseorang yang berenang dilukiskan dengan menggunakan akar kata yang sama, karena pada hakikatnya dengan berenang ia menjauhi posisinya semula. “bertasbih” dalam pengertian agama berarti “menjauhkan Allah dari segala sifat kekurangan dan kejelekan”. Dengan mengucapkan “Subhaanallaah”, si pengucap mengakui bahwa tidak ada sifat, atau perbuatan Tuhan yang kurang sempurna, atau tercela, tidak ada juga ketetapan-Nya yang tidak adil.

Kata subhaana biasa digunakan untuk menujukkan keheranan atau keajaiban terhadap sesuatu. Agaknya dalam konteks ayat ini- karena tidak ada sesuatu yang mengherankan sebelumnya, maka ia mengisyaratkan apa yang disebut sesudahnya yaitu peistiwa Isro’ Mi’roj’nya Nabi Muhammad, ia adalah suatu peristiwa yang menakjubkan dan mengherankan bagi mitra bicara karena kejadiannya sangat di luar kebiasaan yang selama ini dikenal manusia.

Kata asraa serupa dengan kata saraa yakni perjalanan malam. Kedua kata tersebut tidak membutuhkan objek atau dalam istilah kata bahasa ia adalah lazim/intransitive. Huruf ba’ pada kata bi’abdihi,yang bila diterjemahkan secara harfiah adalah dengan hamba-Nya, huruf ba’, itulah yang menjadikan kata tersebut transitive yakni yang membutuhkan objek. Dengan demikian perjalanan malam yang dimaksud dilakukan oleh satu pihak dalam hal ini subjek yakni Allah terhadap satu objek yakni hamba-Nya dalam hal ini adalah Nabi Muhammad.

Penggunaan huruf ba’ itu juga mengisyaratkan bahwa perjalanan Isro’ Mi’roj’ tersebut di bawah bimbingan Allah dan taufik-Nya. Penggunaan kata ini menjadikan nabi Muhammad bukan saja diisra’kan lalu dilepas begitu saja, tetapi Isro’ Mi’roj’ dilakukan Allah di bawah bimbingan-Nya secara terus menerus bahkan “disertai”Nya.

Perjalanan Nabi Muhammad itu, bukanlah atas kehendak beliau dan tidak juga atas dasar kemampuan beliau, tetapi itu atas dasar kehendak Allah bahkan Dia yang mengIsro’ Mi’roj’kan yang melakukan perjalanan itu untuk beliau. Atas dasar itu, dari awal ayat ini mengingatkan semua manusia bahwa peristiwa tersebut harus dikaitkan dengan kehendak dan kekuasaan Allah.

Kata ‘abdihi, biasa diterjemahkan hamba-Nya. Ketika menjelaskan ayat kelima, Quraish Shihab, antara lain menyatakan bahwa dalam kamus-kamus bahasa, kata ‘abd mempunyai sekian banyak arti. Ia dapat menggambarkan ”kekokohan” tapi juga “kelemahlembutan”. ‘Abd dapat berarti “hamba sahaya”, “anak panah yang pendek dan lebar”. Juga dapat berarti ”tumbuhan yang memiliki aroma harum. Apabila seseorang manjadi ‘abd/abdi sesuatu maka ketiga arti di atas merupakan sifat dan sikapnya yang menonjol.

Kata lailan/ malam, sepintas terlihat tidak diperlukan lagi setelah kata asraa yang berarti perjalanan malam. Sementara ulama menjadikan kata ini mengandung makna sedikit, sehingga dari sini bisa dipahami bahwa perjalanan malam itu tidak berlangusung sepanjang malam, tetapi hanya beberapa saat dari malam yang menurut riwayat hanya berlangsung demikian singkat, sehingga setelah kembali, beliau masih menemukan kehangatan pembaringan beliau, meski setelah perjalanan jauh. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut mengisyaratkan bahwa peristiwa tersebut terjadi di waktu malam, waktu di mana orang tidur, dan dengan demikian perjalanan tersebut bukanlah dengan jasad beliau tetapi berupa mimpi atau dengan jiwa beliau. Sayyid Quthub memperoleh kesan dari kata di atas sebagai tujuan memberi gambaran tentang ketenangan malam dan ketenangan jiwa yang dipenuhi oleh gerakan yang lemah lembut yang berurutan dari peristiwa besar itu.

Baaraknaa/ Kami berkati. Berasal dari kata barakah yakni kebajikan yang banyak. Keberkatan yang berada disekitarnya itu antara lain pengutusan para nabi di sana, juga kenyamanan dan hasil bumi yang banyak dan subur. Bahwa keberkatan itu tidak lagi terasa sekarang dengan terjadinya peperangan dan kekerasan, sama sekali tidak bertentangan dengan ayat ini.

Haulahu/ sekitarnya memberi kesan bahwa kalau “sekitarnya” saja telah diberkati Allah, maka tentu lebih-lebih lokasi masjid dan masjidnya sendiri. Kata sekitarnya, menurut Sayyid Quthub mengesankan bahwa keberkataan tersebut melimpah sehingga membanjiri sekitarnya. Ini adalah satu contoh ketelitian redaksi Al Quran.

Dalam ayat di atas, terdapat beberapa kali pengalihan redaksi dari persona ketiga pada kata-kata Subhaana alladzii/ Maha Suci Dia dan pada kata ‘abdihi/ hambanya, selanjutnya ke persona pertama yaitu alladzii baaraknaa/ yang telah Kami berkati dan linuriyahuu/ agar Kami perlihatkan kepadanya, yang apabila tanpa pengalihan akan dikatakan yang telah Dia berkati dan agar Dia diperlihatkan kepadanya. Setelah pengalihan redaksi ayat di atas beralih ke persona ketiga yaitu innahuu/ sesungguhnya Dia. Pengalihan-pengalihan tersebut bertujuan menekankan bahwa peristiwa Israa’ benar-benar bersumber dari Allah yang Maha Agung dan terjadi di hadirat Ilahi serta diliputi oleh kesucian dan keagungan-Nya.

Ayat ini secara jelas menguraikan tentang terjadinya Isra’ Nabi Muhammad dari Masjid al Haram di Mekkah menuju Masjid al-Aqsa. Namun ia tidak menjelaskan apakah hal tersebut terjadi dengan ruh dan jasad beliau, atau ruh saja ataukah dengan mimpi. Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini, masing-masing mengemukakan dalil tentang pendapatnya, baik dari redaksi atau kesan yang mereka peroleh dari ini maupun dari dari dalil-dalil yang lain.

Penulis sengaja tidak mencantumkan seluruh tafsir perkata dari analisisnya Quraish Shihab, tetapi hanya mengambil beberapa kata saja yang penulis anggap nantinya mempunyai korelasi dengan kajian dari sisi sains. Penulis mengambil hanya kata-kata Maha suci, hamba, malam, perjalanan malam, diberkati dan sekililingnya.

Dalam cerita mengenai Isro’ Mi’roj’ mi’roj yang sering kita dengar tidaklah sekedar perjalanan Beliau, dari masjid al Haram ke masjid al-Aqso saja, tetapi juga perjalanan beliau ke Sidratul Muntaha, yakni tempat di atas langit ke tujuh, penulis di sini masih kurang memahami arti kata “di atas”, apakah ‘di atas” ini dimaksudkan sebagai posisi tempat layaknya seperti kata-kata “genting itu berada di atas atap rumah” atau “burung melayang di atas kita” ataukah kata ‘di atas” dimaksudkan adalah sebagai kata penghormatan. Seperti halnya arti sebuah kata dalam Al Quran bahwa “singgasana Tuhan berada di atas air. Sejumlah ulaama menafsirkan kata “di atas’ diartikan sebagai bentuk penghormatan. Kalau kata “di atas” di artikan posisi maka kemungkinan bisa dientukan jarak dan keberadaannya. Yakni dengan cara mengambil perjalanan malaikat yang naik turun dari singgasana Tuhan , yakni seharinya membutuhkan waktu sekitar lima puluh ribu tahun bagi waktu manusia. Tetapi ini aka mengalami kejanggalan jika nantinya kita menganalis tentang Isro’ Mi’roj’ secara sains, karena nantinya kita mempunyai anggapan bahwa singgasana Tuhan berada di sekitar planet Saturnus, sehingga akan menimbulkan kegonjangan iman.

Kembali ke masalah Sidratul Muntaha, dalam surat an-najm ayat keempat belas. Ayat ini juga menggambarkan perjalanan puncak dari Isro’ Mi’roj’ yakni sampainya nabi Muhammad ke Sidratul Muntaha yang diyakini peristiwa Nabi menerima wahyu sholat. Ayat itu berisi sebagai berikut:

“tidaklah hatinya mendustakan apa yang telah dia lihat. Maka apakah kamu hendak membantahnya tentang apa ang dilihatnya? Dan sesengguhnya dia telah melihat pada waktu yang lain, (yaitu) di sidratul al-muntaha”

Tentang kata melihat di sini bukannya Nabi melihat Tuhan tetapi melihat malaikat Jibril sebagaimana beliau melihat malaikat pembawa wahyu saat menerima wahyu pertama di gua Hira. Marilah kita simak tafsirnya Quraish Shihab tentang ayat ini.

Kata kadzaba bila pelakunya adalah hati, maka ia berarti mengingkari atau keliru dalam memahami sesuatu, seperti juga jika kita berkata matanya mendustakankanya yakni matanya keliru melihat.

Dapat juga ayat 11 di atas merupakan bantahan kepada kaum musyrikan atau yang meragukan perstiwa yang dialami nabi Muhammad itu. Yakni benar-benar apa yang beliau lihat itu bukanlah ilusi atau khayal, tetapi kenyataan yang sangat jelas. Ini dikuatkan oleh ayat berikutnya yang mengecam mereka juga meragukan dan berusaha membantah.

Kata aftumaaruunahu terambil dari kata miryah yakni keraguan yang mendorong kepada perbantahan. Ayat ini menurut sementara sementara ulama bagaikan menyatakan: apakah kamu meragukan dan membantah Nabi saw. menyangkut apa yang beliau lihat-seperti malaikat- padahal kamu tidak mengerti dan tidak memiliki pengetahuan serta kemampuan untuk melihat apa yang beliau lihat itu. Perbantahannya hanya dapat terjadi antara orang-orang yang mengerti persoalan dan mampu mengemukakan hujjah/dalil, sedang hal tersebut di luar kemampuan kamu.

Kata yaraa berbentuk kata kerja masa kini dan datang, padahal yang dilihat Nabi saw. itu adalah sesuatu yang telah berlalu pada masa turunnya ayat ini. Hal tersebut sengaja demikian, guna menghadirkan peristiwa dan keindahan apa yang beliau lihat itu ke benak mitra bicara, seakan-akan ia terjadi.

Sementara ulama berpendapat bahwa apa yang “dilihat” Nabi Muhammad adalah Tuhannya. Al-Qusyairi misalnya berpendapat bahwa Nabi Muhammad melihat-Nya sesuai dengan sifat-sifat-Nya yang telah beliau ketahui sebelum melihat-Nya. Abu Dzar sahabat Nabi saw. Pernah bertanya kapada Nabi saw.: “Apakah engkau melihat melihat Tuhanmu?” Nabi saw. menjawab: “Nuwwira ilayya araahu/dicahayakan kepadaku melihat-Nya” (HR. Muslim). Pendapat serupa dikemukakan oleh sahabat Nabi yang lain yakni Ibn ‘Abbas ra. tetapi istri Nabi. ‘Aisyah as, menolak pendapat ini dan menyatakan bahwa saya yang pertama menanyakan kepada Nabi tentang maksud siapa yang dilihat yang dinyatakan oleh ayat-ayat di atas. Lalu Rasul saw. menjawab: ‘itu (yang kulihat) tidak lain kecuali Jibril as. Aku tidak melihatnya dalam bentuknya yang diciptakan Allah buat dirinya kecuali dua kali yang disebut di sini. Aku melihatnya turun dari langit, kebesaran (diri) yang diciptakan baginya telah menutup antara langit dan bumi” (HR. Muslim melalui ‘Aisyah).

Memang dari segi redaksi tidak ada yang mendukung pendapat yang menyatakan bahwa yang dilihat Nabi saw. adalah Tuhan, tetapi yang beliau lihat adalah apa yang terdapat di ufuk sebagaimana konteks ayat. Namun demikian, kita tidak dapat menolak bahwa Nabi saw. “meihat dengan mata hati beliau.” Sayyidina Ali kw. pernah ditanya oleh sahabatnya Zi’lib al Yamani.” Apakah engkau pernah melihat Tuhanmu.” Sayyidina Ali menjawab. “Bagaimana aku menyembah apa yang tidak kulihat?”, Zi’lib bertanya: “bagaimana engkau melihatnya?” Sayyidina Ali menjawab: “Dia tidak dilihat dengan pandangan mata yang kasat, tetapi dilihat oleh mata hati melalui hakikat keimanan.”

Sidrat al-Muntaha merupakan kata majemuk. Dari segi bahasa kata sidrah adalah sejenis pohon yag rindang. Pohon ini memiliki tiga keistimewaan utama, yaitu rindang, lezat dan beraroma harum. Sementara ulama menerjemahkannya-secara harfiah- dengan pohon bidara, sedang kata al-Muntaha berarti tempat terakhir. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan tempat itu. Beberapa riwayat menyatkan bahwa ia berada di langit ketujuh. Di sanalah terdapat surga al-Ma’wa yang tentunya tidak terjangkau oleh nalar manusia, dan di sana juga berakhir pengetahuan makhluk. Al-Biqa’i menukil satu riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw. Bersabda: “Sungguh aku tidak mengetahui apakah ia (Sidrat al-Muntaha itu). Tidak satu hamba Allah pun yang mampu melukiskannya”.

Bagaimana bila mukjizat Rasullah ini dilihat dari sudut pandang sains? Akankah sains mampu membongkar misterinya? Ataukah memang peristiwa “malam” itu sesuatu yang tak cukup didekati dairi satu ilmu saja?. Penulis, setidaknya pernah membaca buku yang mencoba memahami atau mengulas permasalahan tersebut. Pertama buku yang ditulis oleh Agus Mustofa dengan judul “Terpesona di Sidratul Muntaha”. Buku ini mengulas dengan pendekatan sains, meski banyak kalangan yang meragukan validitasnya dikarenakan tidak ada daftar pustaka (referensinya), pengulasannya dengan mengqiyaskan bahwa perjalanan nabi adalah perjalanan cahaya. Artinya perjalanan tersebut dengan kecepatan cahaya (kecepatan cahaya 3,X 108 m/s) sehingga nabi memungkikan mengadakan perjalanan sesingkat tersebut. Tetapi pertanyaannya adalah jika nabi berjalan dengan secepat itu tentunya elektron-elektron yang menyusun tubuh nabi akan tercerai berai karena tidak mampu menahan gaya tarik maupun gaya gesek.

Sehingga, alternatif lain untuk mendektinya adalah dengan merubah nabi menjadi cahaya. Jadi ada tranformasi bentuk dari materi ke cahaya). Hanya dengan ini nabi bisa memiliki kecepatan cahaya. Kita masih ingat sebelum perjalanan malam ini dilkakukan, yakni malaikat Jibril melakukan prosesi membedah nabi dan membersihkan diri maupun rohani nabi dosa maupun kotoran yang lain. Mungkin saja inilah proses transformasi tersebut.

Tetapi itu juga menyisakan pertanyaan, kalau benar nabi berjalan dengan kecepatan cahaya berarti Sidratul Muntaha bisa ditentukan letaknya dong? Caranya kita pakai rumus sederhana mengenai posisi. Rumus fisika memberikan bahwa jarak tempuh benda yang bergerak dapat dihitung dengan menghitung waktu serta kecepatan benda tersebut. ( S = VXS). Dan perhitungan ini tidak bisa diterima oleh kaum agamawan, bahwa Allah tak bertempat.

Jalan lain adalah bahwa langit mempunyai pintu-pintu rahasia dan Allah yang memegang kunci-kuncinnya

"Ddan kunci-kunci semua yang ghaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui kecuali Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan laut. Tidak ada sehelai daun yang gugur yang tidak diketahui-Nya, tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau kering, yang tidak tertulis dalam kitab yang nyata.”(Q.S al-An’am: 59)

Kata mafaatih adalah bentuk jamak dari maftah dalam arti gudang/tempat perbendaharaan. Ada juga yang mengartikan sebagai jamak dari kata miftah yang berarti kunci/alat yang digunakan utuk membuka sesuatu.

Al-Biqa’i memahami firman-Nya pada sisi Allah-lah kunci-kunci gaib sebagai mencerminkan peningkatan dan penekanan tentang cakupan pengetahuan-Nya. Menurutnya, sesuatu yang tersembunyi diibaratkan sebagai sesuatu yang berada dalam brankas. Tidak ada yang mengetahui isinya kecuali yang dapat membukanya, dan tidak ada yang dapat membukanya kecuali yang memegang kuncinya lagi mengetahui cara membukanya.

Pendekatan dengan menggunakan ayat ini sekiranya dapat memahami, bagi Nabi saw. Mampu menembus Sidratul Muntaha dalam waktu yang sekejap, di mana Sidratul Muntaha sendiri tidak bisa ditentukan letak dan jarak. Apakah posisi Sidratul Muntaha bisa kita asosiasikan dengan keberadaan elektron? Artinya dalam teori probabilitas sebuah elektron tidak bisa ditentukan posisinya, yang bisa dikatakan adalah peluang untuk menemukannya, semakin dekat dengan inti elektron maka elektron kemungkinan elektron dapat kita temukan. Sekarang mari kita lanjutkan, kemungkinan nabi lewat pintu-pintu rahasia sehingga dengan mudah sampai ke sidratul muntaha. Seperti halnya rumah yang mempunya pintu-pintu khusus yang mampu menghubungkan dengan dunia luar (rumah). Alam semesa kita analogikan sebagai rumah, dan salah satu sudut rumah tersebut mempunyai pintu rahasia, yang menghubungkan dengan tempat tertentu.

Surat An-Naba’ ayaat 19, menginformasikan bahwa langit mempunyai pintu-pintu, “dan langit pun dibukalah, maka terdapatlah beberapa pintu”. Ayat ini tidaklah berdiri sendiri, artinya, ayat ini merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya (ayat 18)---¬ ditunjukan dengan tanda waqof lazim---yang berarti cara membacanya berkelanjutan karena artinya saling menyambung. Dengan begitu, ayat 19 ini berkaitan dengan peristiwa yang diinformasikan dari ayat sebelumnya yakni tentang hari kiamat. Lalu, apakah informasi ini bisa dipakai untuk menguak peristiwa Isro’ Mi’roj’?

Secara langsung dua peristiwa (Isro’ Mi’roj’ dan kiamat) merupakan dua peristiwa yang jelas berbeda waktunya tetapi saya akan mencoba memberikan analogi untuk menghubungkan dengan kedua peristiwa tersebut. Misal, sebuah gedung pertujukan mempunyai pintu yang bisa diakses oleh semua pengunjung disaat tibanya waktu pameran. Karena pameran belum waktunya maka pintu tersebut masih ditutup dan tak satu pun pengunjung dibukakan pintu untuk melihat isi gedung tersebut, karena waktu pertunjukan belum dimulai. Tetapi, karena ada orang penting, katakanlah ia seorang supervisor dan mempunyai kekhususan dan lebih dekat dengan manager, maka orang tersebut dipersilahkan masuk untuk melihat keadaan dalam gedung tersebut.

Dengan analogi sederhana tersebut, kita mengetahu bahwa langit memang mempunyai pintu yang keberadaannya memang sudah ada sejak dulu, bersamaan dengan langit tersebut diciptakan. Hanya saja pintu tersebut belum dibuka karena waktu belum saatnya untuk dibukakan untuk umum. Hanya orang/makhluk tertentu saja yang bisa mengaksesnya, dengan izin Allah tentunya.

Bagaimana sains mendekatinya? Teori relativitas umumnya Enstein, karena dengan mengunakan teori relativitas khusus tak memungkinkan, karena badan tak mampu mempertahankan ikatan antar molekulnya, akan meledak. Dengan teori relativitas umum kita menggunakan konsep ruang –waktu melengkung.

Saya kutipkan—untuk memahami teori ralativitas umum--- dari bukunya Agus Purwanto. Menurut Albert Einstein kita telah terbiasa menganggap kita hidup dalam ruang yang datar. Padahal ruang-waktu melengkung sehingga tarik menarik antar dua objek terjadi. Data memberi informasi bahwa galaksi-galaksi menjauh yang berarti jagat raya sekarang sedang mengembang, jejari jagat raya membesar. Jaga raya mengembang ini secara teoritis dapat dipenuhi oleh tiga model, yaitu model jagad raya tertutup (closed), datar (flat), dan terbuka (open universe). Kita hidup dalam ruang-waktu empat dimensi : tiga dimensi ruang dan satu dimensi waktu. Karena itu, kecuali jagat raya datar kita hanya dapat menggambarkan ruang paling tinggi dua dimensi diilustrasikan oleh permukaan bola, pelana kuda, dn bidang datar.

Model alam semesta dua dimensi, sebagai contoh kita ambil closed universe yang menjanjikan kiamat. jagat raya tertutup dua dimensi diilustrasikan dengan permukaan balon yang ditempeli potongan-potongan kecil kertas. Permukaan balon menyatakan jagat raya secara keseluruhan, tempelan kertas menyatakan galaksi, sedangkan permukaaan tanpa tempelan kertas menyatakan ruang antar-galaksi.

Jika balon ditiup, maka balon atau jagat raya akan mengembang dan galaksi-galaksi pun saling menjauh. Pada permukaan kertas sendiri ada bagian-bagian kosong yang menyatakan ruang antar-bintang di dalam satu galaksi.

Di jagat raya tertutup ini, kepergian Nabi saw. Mi’roj ke langit lain adalah perjalanan melintasi permukaan balon dan dapat kembali ke bumi walaupun tanpa memutar haluan. Masalahnya, meskipun bergerak dengan laju maksimum, yakni laju cahaya tetap diperlukan jutaan tahun untuk kembali ke bumi. Ternya relativitas umumpun tak mampu peristiwa Isro’ Mi’roj.

Altenatifnya, mi’roj dipandang sebagai perjalanan keluar dari dimensi ruang-waktu kita. Di dalam model jagat raya dua dimensi tertutup, permukaan bola merupakan gambaran jagat raya kita sesungguhnya yang empat dimensi. Di dalam jagat raya dua dimensi ini kita tahu masih ada ruang ekstra di luar jagat raya kita ini. Ruang ekstra itu berada di dalam dan di luar permukaan bola. Jika ruang antar bintang maupun antar galakasi dipandang sebagai langit-langit material, maka langit immaterial adalah langit yang berada di ruang ekstra. Karena ruang ekstra berada di luar ruang material, maka hukum-hukum ruang-waktu yang kita kenal boleh tidak berlaku di sana sehingga perjalan mi’roj yang melalui beberapa lapis langit dapat berlangsung beberapa waktu yang sesingkat-singktanya.

Peristiwa mi’roj memang tak bisa kita jelaskan secara tuntas dengan ilmu eksak, tatapi setidaknya kita bisa sedikit mendekati akan kebenarannya. Inilah, mungkin, isyarat bahwa mukjizat nabi dan rosul tak bisa, melulu, dijelaskan dengan langkah rasional yang disebabkan terbatasnya ilmu yang kita miliki. Yang jelas mistik bukanlah tahayul, karena mistik merupakan hal gaib yang bersifat relatif, artinya ada peluang untuk menguaknya. Dan perlu diketahuai ghoib sendiri dibagi menjadi dua: mutlak dan relatif.

Demikin sedikit ulasan, penulis mohon maaf atas ketidaktuntasan dalam mengupasnya, karena terbatas ilmu serta referensi yang penulis miliki terbatas. Kritik dan saran silahkan kirimkan ke e-mail penulis. Wa Allah a’lam bi shawab.subhanaa la ilma lanaa illa maa ‘alamtanaa.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment